Bagian Dua: Kutemukan Bintang Paling Terang

Sudah empat hari ini tak ketemui bintang paling terang itu. Berkas rindu pun menjelma menjadi keinginan untuk mengunjunginya esok seiring matahari pagi. Kupejamkan mata dangan seberkas senyum terlukis di wajah yang sedikit memucat entah karena apa. Kurasakan angin malam mengalun lembut di telingaku menciptakan harmoni dengan embun. Tersenyum karena esok pagi akan berbeda dari hari ini. Ingin kutemui ia lagi, bintang yang paling terang jelmaan mimpi. Malam menyelimuti, menghanyutkan dengan dinginnya yang selalu penuh oleh makna yang tak pernah kuungkap. Malam dan aku tertidur tanpa mimpi.
Esok paginya aku terbangun dan mendapati air mata jatuh membasahi. Kurasakan sakit tak terperi di pundak sebelah kananku. Sakit, nyeri, serasa tulang-tulangku patah dan berjatuhan. Ini pertama kali kurasakan sakit seperih ini. Mataku terpejam menahan. Aku berusahan menahan lalu melawan tapi semakin kuat aku melawannya, semakin dalam ia menembus hingga menusuk dan menjalar sampai seluruh bagian tubuhku. Aku berteriak tapi tak seorangpun yang mendengar. Sakit. Nyeri. Aku terkulai.
Sesaat aku tersadar kembali dan rasa sakitnya mereda. Kuraba pundakku dan semuanya terasa baik-baik saja. Aku berjalan dan membasahi wajahku. Mencoba tersadar dari mimpi buruk atau apapun yang baru saja menyiksa ragaku. Aku melangkah ke beranda tempat ku biasa melompat lalu terbang membelah cakrawala. Ku hirup satu nafas panjang seperti yang biasa kulakukan. Ku kepalkan tanganku dan melompat setinggi-tingginya, dan kemudian aku tersadar ada sesuatu yang salah. Grafitasi menarikku, mengkikatku erat tak melepasku melayang, Aku terjatuh dan terhempas keras ke tanah. Keningku berdarah.
Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi, baru setelah kuperiksa baik-baik datangnya sakit yang tadi menghancurkan sendiku. Kudapati sayap di pundak kananku melemah. Darah mengalir dari pangkalnya. Ia terluka. Ia patah. Ia mengering, dan warnanya berubah tak lagi putih bersih. Ia berangsur abu-abu, redup.
Aku masih tak tahu apa yang terjadi dengan sayap di pundak kananku. Kucoba mengepakkannya sesekali. Dan setiap kali kukepakkan darahnya semakin banyak dan rasa sakitnya semakin dalam sekana sampai ke paru-paru dan jantungku. Aku tak peduli. Kukepakkan semakin cepat dan kuat. Menciptakan tiupan angin yang memberontak. Sayap di pundak kiriku mengayun ke atas dan ke bawah, membuatku terombang-ambing di tempatku berdiri, sedangkan sayap di pundak kananku tak merespon. Ia bergeming.
Seperti manusia yang tak bernyawa sayapku diam. Aku menyerah bersamanya. Terkulai dan bersandar di pintu yang sering mengucap sampai jumpa setiap kali aku terbang dari hadapannya. Tapi kali ini tidak, ia memelukku erat. Ia tersenyum padaku. Mencoba meyakinkan seakan mengerti sakit yang kuderita. Tapi bukan itu yang kucemaskan. Bukan nyawaku, tapi sayapku. Tanpanya aku tak akan pernah mengelilingi aurora lagi, tak akan kupeluk cahaya mentari pagi, tak akan ku tantang ombak biru di sore hari, tanpanya aku bukan siapa-siapa. Tanpanya aku hanya mahkluk lemah.
Ku pegang sayapku. Mencoba mengepak tapi ia masih diam. Ku tatap langit yang berngsur biru dan hangat. Ku hempas awan yang meghalangi pandanganku. Mencari bintang itu. Dan kutitip salam semoga ia mendengar “Sayapku patah, aku tak bisa bernyanyi untukmu hari ini. Tak bisa mengajakmu berkeliling senja. Aku tak bisa terbang lagi”.
Dan bintang paling terang itu masih menungguku di pinggir sungai bintang cemerlang tempat kami pertama bertemu. Menyiapkan satu syair untuk yang ia tulis sendiri. Berharap aku datang hari ini.

No comments:

Post a Comment