Desember untuk Lhya

Pagi di pertengahan bulan Desember. Awan-awan hitam berelegi di atas sana. Menghalangi sinar matahari jingga keemasan yang hendak menghangatkan pagi. Sesaat kemudian titik-titik hujan jatuh satu persatu membasahi bumi. Menghadirkan euforia yang sedikit berbeda hari ini. Semakin lama semakin deras sambil sesekali diselingi angin kencang dan suara riuh guntur dan kilat petir meyilaukan.
Di dalam ruangan kelas ada Lhya yang tak hentinya menatap ke luar jendela. Gadis berambut ikal itu terhanyut dalam alam khayalnya, tak peduli pada apa yang terjadi di sekitarnya. Tak peduli pada teman-temannya yang sedari tadi memandang aneh padanya. Tak peduli pada suara guntur dan hujan deras di atasnya. Tak mampu menyembunyikan murung di wajahnya.
Ani yang sedang duduk di sampingnya menatap heran padanya. Tak biasanya Lhya yang periang, terlihat murung seperti ini. Biasanya setiap pagi dia akan bercerita apa saja pada siapa saja yang ada di sampingnya, tentang film yang tayang di Televisi semalam ataupun peristiwa lucu yang baru saja dialami atau dilihatnya dengan penuh semangat dan antusias. Ani mengibas-ngibaskan tangannya yang kedinginan di depan kedua mata Lhya. Memastikan jiwanya masih di dalam tubuhnya.
“Lhya! Lhya!” panggilnya dengan nada agak keras dan cepat mencoba membangunkan Lhya dari alam khayalnya atau apa pun yang sedang menguasainya.
“Eh!” Lhya tersentak.
“Kamu kenapa?” Tanya Ani ingin tahu. “Sakit?” sambil menempelkan punggung tangannya di dahi Lhya. Mengukur suhu tubuhnya kalau-kalau sahabatnya itu sakit
Lhya hanya menggeleng pelan.
“Tidak enak badan?”
Sekali lagi Lhya menggeleng sambil memejamkan mata.
“Lha? Trus? Nggak biasanya kamu diam kayak gini. Kamu sedang ada masalah?! Kalau tidak, sedang memikirkan seseorang yah?!”
Lhya tersenyum kecil lalu menjawab “Tidak kok. Aku tidak kenapa-kenapa. Tugas Bahasa Indonesia kamu sudah selesai?”
“Sudah. Ini!” sambil dengan bangga memperlihatkan tugas menulis cerpennya yang tersampul rapi dengan sampul berwarna merah. “Kutulis berdasarkan kisah nyata! Kalau Kamu? Sudah selesai?”
“Iya, sudah.” Jawabnya sambil tetap tersenyum.
Ani mengeluarkan bungkusan kecil berisi roti coklat yang dibawanya dari rumah.
“Lhya, Kamu mau?” sambil menyodorkan sepotong bekalnya itu pada Lhya.
“Makasih. Tapi aku baru sarapan.” Tolaknya sopan. Ani menarik kembali tangannya dengan sebuah tanda Tanya besar di kepalanya.
Lima menit kemudian bel tanda masuk berbunyi. Siswa-siswa yang tadi berhamburan di depan kelas satu per satu masuk lalu duduk di bangku masing-masing. Ruang kelas yang tadi sepi berubah penuh. Lalu serentak berubah kalem saat seorang guru berpostur tinggi besar melangkah masuk.
“Selamat pagi” sapa Pak Guru dengan sopan. Suaranya yang halus tak seseram tampangnya yang ditumbuhi kumis tebal. Dia adalah Pak Mus, guru mata pelajaran Bahasa dan satra Indonesia.
“Selamat pagi, Pak!” jawab seluruh siswa di kelas itu dengan serentak dan semangat. Lhya masih diam saja.
“Tugas yang kemarin sudah diselesaikan?”
“Sudah, Pak!”
“Bagus kalau begitu. Ketua Kelas, Tolong kumpulkan tugas teman-teman kamu lalu bawa ke meja Bapak di ruang guru sekarang!”
Rahmat sang ketua kelas teladan pun bergerak lincah mengumpulkan tugas-tugas kami.
“Anak-anak, Tolong dengarkan!” Perintah Pak Mus meminta perhatian.
“Hari ini Bapak tidak bisa mengajar seperti biasa. Ada urusan sekolah yang harus Bapak kerjakan sekarang juga. Tolong jangan ribut dan mengganggu kelas lain!”
“Iya, Pak!” sahut seluruh siswa dengan sangat bersemangat. Pak Mus hanya tersenyum lalu berjalan terburu-buru ke arah ruang Tata Usaha.

Ruang kelas langsung berubah gaduh setelah ditinggal Pak Mus. Semua sibuk dengan obrolan masing-masing. Mereka yang demam internet sibuk bercerita tentang situs jejaring sosial seperti Facebook. Sisanya bercerita tentang model pakaian terbaru, sinetron yang habis ditayangkan semalam, dan sisanya lagi membuka kelas diskusi dadakan dengan topik percintaan. Hampir seluruh siswa di ruangan kelas itu terlibat dengan salah satu di antaranya, hanya Lhya dan Ani yang terlihat diam tidak mengerjakan apa-apa.
“Lhya, gabung di sana yuk?” sambil menunjuk ke arah Ilha dan kawan-kawan yang lain yang sedang sibuk membicarakan gosip panas artis dangdut yang baru saja bercerai.
Lhya menggeleng “Kamu duluan saja. Aku menyusul”
“Kamu yakin tidak kenapa-kenapa? Sedari tadi kamu diam saja tidak seperti biasa. Tidak mau cerita? Siapa tahu aku bisa bantu.”
“Tidak, terima kasih. Aku sedang tidak ingin melakukan apa-apa.”
“Ya sudah, aku ke sana yah! Kalau butuh apa-apa, panggil aku saja!”
` Lhya tak merespon. Diam.

Siang. Panas hari itu tak tampak, terlindung oleh awan-awan yang berangsur cerah. Sebaris pelangi muncul di baliknya. Mengakhiri cerita dari hujan deras yang turun sejak pagi. Wajah-wajah ceria bergantian keluar dari ruang kelas. Jam sekolah hari ini selesai.
“Ani, aku langsung pulang yah?!” Ucap Lhya pada Ani meminta pamit
“Lho? Kok? Bukannya minggu lalu kamu janji mau temani kau ke toko buku hari ini?!” tanggap Ani heran. Lhya tak peduli.
“Sudah yah. Sampai jumpa besok!” ucapnya sambil berlalu.

Ia lalu berjalan pelan sambil merunduk murung. Tampak jelas ia sedang menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang tak ingin ia tampakkan. Sesuatu yang tak ingin ia ceritakan. Sebenarnya sejak kemarin ia terus memikirkan seseorang. Sedari kemarin ia memikirkan kakaknya. Sebenarnya bukan kakak kandungnya. Tapi seseorang yang telah ia anggap seperti kakaknya sendiri
Namanya Andi, teman bermainnya yang ia kenal sejak kecil. Dulu, tiap hari mereka menghabiskan waktu bersama, sebagai anak kecil dengan mainan anak kecil pula. Anak kecil yang menikmati keindahan yang hanya mereka mampu rasakan sendiri. Namun semuanya tak berlangsung lama. Mungkin waktu juga yang mengikis kedekatan mereka. Bukan jarak yang membuat mereka jauh, tapi hati. Hati yang membuat mereka jauh. Hati dan waktu yang membuat ia jadi seperti orang lain di hadapan Lhya. Membuatnya seperti orang asing yang tak pernah dikenalnya. Berubahkah ia? Lupakah ia pada apa yang dulu pernah mereka lakukan bersama? Tak terkenangkah di kepalanya senyuman yang pernah mereka lukis bersama di wajah-wajah polos mereka? Memikirkan itu Lhya semakin murung, matanya berkaca-berkaca. Ia menangis.
Sudah hampir delapan tahun Arya, kakak yang sangat disayanginya itu menjadi orang asing. Dan selama delapan tahun itu juga ia harus menanggung keriduan yang mendalam. Kerinduan yang tak mampu ia mengerti. Kerinduan yang lebih dalam dan dan lebih rumit. Bukan kerinduan seorang perempuan pada laki-laki. Jauh lebih bermakna. Kerinduan itu makin besar belakangan ini. Kerinduan yang terlalu berat untuk ditanggung oleh seorang anak perempuan serapuh ia.
Sore saat matahari menuju terbenam, air mata belum kering dari wajahnya. Ia mengunci diri di kamarnya sambil menghadirkan kembali kenangan yang masih terlukis jelas di kepalanya, di hatinya. Khayalannya pecah, dibangunkan oleh bunyi ketukan ketukan pintu rumahnya. Ia menghambur keluar kamar. Tak ada seorangpun di rumah kecuali ia dan adiknya yang sedang duduk di depan televisi.
“Fadil, siapa di luar? Coba liat sana!” perintah Lhya pada adiknya yang sedang asyik sendiri dengan film kartun kesukaannya.
“Tidak mau! Kau saja sana!” jawabnya menolak yang membuat Lhya dongkol. Ia berjalan menuju pintu. Mendapati seorang laki-laki yang bersandar di tembok sambil menunggu seseorang dari dalam untuk membuka pintu.

“Cari siapa?” Tanya Lhya ramah.
“Ibu ada?”
“Ibu sedang keluar. Ada pesan buat ibu?”
“Oh, tidak. Tidak usah.” Jawabnya dengan nada rendah sambil tersenyum

Dan itulah senyuman yang paling ia rindukan. Senyuman yang tak pernah ia lihat delapan tahun ini. Kenangan itu tergambar kembali, sekali lagi. Dan kali ini benar-benar hidup dan sangat nyata. Serasa ia mengalaminya kembali. Lhya dan laki-laki itu saling menatap tanpa kata. Dan dalam sekejap Lhya menjatuhkan dirinya ke pelukan kakak yang sangat dia rindukan itu. Matahari berpamitan. Awan-awan berangsur gelap. Titik-titik hujan menetes sedikit demi sedikit, lalu berubah deras. Membasahi tubuh mereka. Menutupi air mata yang jatuh dari mata mereka berdua.