Diam-diam Melamar

"Aku ingin menikahimu", kataku padamu di malam Sabtu yang lalu. Kamu diam. Aku juga. Awan juga diam, beda dengan ombak yang terus menerus menghantam pasir malam sabtu. Barangkali hendak memecah heningmu dan heningku yang menyatu.
Dan kamu masih diam. Menahan kata, membisu.

"Empat bulan lagi usiaku 25, dan kamu 22", aku mencoba meyakinkanmu dengan perhitungan matematis yang kamu tangkis dengan geming. Barangkali bingung karena menurutmu kita masih terlalu muda. Sejurus kemudian pandanganku mengarah ke sana, ke pantulan bulan setengah purnama yang tenggelam namun terang.
Dan kamu masih diam. Menahan kata, membeku.

"Adakah orang lain?", pertanyaanku yang menggambarkan perasaanku yang menggaram. Kamu menggeleng. Kemudian bintang semakin terang namun lampu yang menerangi kita makin redam. Tatapan kita bertemu semakin dalam.
Dan kamu masih diam. Lampu temaram.

"Aku ingin menikahimu"
Kamu masih diam. Kemudian berjalan. Meninggalkan pertanyaan yang seharusnya untukmu. Tanpa iya, juga tanpa tidak.

Ceritakan Padaku Bagaimana Kamu Mencintaiku

Ceritakan padaku bagaimana kamu mencintaiku, seolah-olah aku tak tahu.
Supaya aku ingat.
Supaya aku ingat aku punya kamu. Aku selalu punya kamu.
Supaya aku bersyukur dan berdoa.
Supaya Tuhan memang menciptakanmu untukku.
Untuk kujadikan abjad dalam setiap puisiku.
Untuk kamu.

Belajar Mengeja Rindu

Kau tahu bagaimana caraku mengeja rindu?
Dengan N-A-M-A-M-U

Kau tahu bagaimana caraku mengeja namamu?
Dengan R-I-N-D-U

Keluhan Dokter Muda

Mencintaimu adalah penyakit. Bertemu adalah penyebabnya.
Mencintaimu adalah penyakit. Jantung berdebar-debar adalah tanda-tandanya.
Mencintaimu adalah penyakit. Rindu adalah gejalanya.
Mencintaimu adalah penyakit. Menikahimu tidak mengobatinya. Hanya memperpanjang saja.

Pun

Pun

Hidungnya berdarah

Hatinya lebih parah



Pun

Lidahnya kelu

Hatinya pilu



Pun

Jemarinya menganga

Langkahnya luka



Pun

Bibirnya mengaduh

Perutnya gaduh



Pun

Matanya bisu

Membiru



Pun

Isterinya di jalan

Menjual badan



Pun

Nyawanya satu

Jiwanya batu



Pun

Masih hidup

Dilupakan

(Puisi) yang Poligami

1. Berpoligami, modalnya indomie
2. Berberpoligami, modalnya puisi
3. Berpoligami, modalnya dua isteri
4. Berpoligami, nanti jika sudah jadi suami
5. Berpoligami, anaknya banyak nanti
6. Berpoligami, jangan dimaki-maki
7. Berpoligami, nikmatnya bertubi-tubi
8. Berpoligami, tapi resiko tanggung sendiri

Puisi dari Dua Kilogram Rindu

Ini puisi yang terbuat dari dua kilogram rindu.
Jangan kau angkat. Nanti tanganmu luka.
Biar aku saja.
Toh ini rinduku. Bukan rindumu.

Ini puisi yang terbuat dari dua kilogram rindu.
Jangan kau tarik. Nanti tanganmu luka.
Biar aku saja.
Toh ini rinduku. Padamu juga.

Ini puisi yang terbuat dari dua kilogram rindu.
Jangan kau ambil.
Ini rinduku saja.
Kalau kau ambil.
Bagaimana aku merindu?

Mendengar Warna Pelangi. Kau Bisa?

Kawan, pernahkah kau mendengar warna? Tahukah kau bagaimana bunyi merah yang berani? Bagaimana suara hitam yang dalam? Bisakah kau mendengarnya? Bukan sekali lagi memandangnya.
Seandainya warna bisa bersuara, mungkin merah yang memegang nada awal sebagaimana dia yang berada di bagian paling atas pelangi. Mungkin merah, bisa dibaca "DO"

Mungkin begitu pula cara mendengar pelangi. DO-RE-MI pastilah berarti merah, kuning, hijau.

Rindu yang Bicara Sendiri

Ini, kubakar kembang api dengan air mata yang menjadikannya pelangi. Percikannya mengingatkan pada pantai yang kita garis dengan langkah-langkah kecil dan mimpi yang menjadikannya cinta. Ini, kulukis kembali gambar-gambar yang telah lama itu dengan garis sketsa baru yang menjadikannya riuh.

Puisi yang Kuterbangkan ke Jendela Kamarmu

Itu adalah dua paragraf puisi yang menggombal. Sekilas serupa puisi yang cacingan karena rupanya dia buncit. Buncit oleh kalimat yang kupilih pilah, dari kata-kata indah dari kamus besar bahasa Indonesia.

Meski sederhana. Puisi cinta itu kubuat sendiri. Tadi malam kuterbangkan ke jendela kamarmu. Harapku kau membacanya. Memeluknya lalu menggantungnya di tembok atau langit-langit kamarmu. Puisi itu memang untukmu. Kutulis dari sebulan yang lalu. Untuk kau baca. Untuk kau perlihatkan ke teman-temanmu jika ada yang berkunjung ke kamarmu.
Katakan padanya puisi itu dariku. Lalu katakan pada mereka bahwa kau begitu menyukainya.

Buka lagi jendela kamarmu, Sayang. Di tanganku masih ada satu puisi lagi.

Hujan yang Turun dari Bulan

Terang sinarnya terang. Bulan yang sedang senang
Sinar memantul di atas percikan yang berkumpul di tengah kota kecil
Kota kecil yang tenggelam
Oleh air dalam kelam, yang Kelam dalam air

Yang dibawanya entah. Dari mana mau ke mana
Hujan yang jengah. Dia turun dari bulan
Dalam hujan yang jengah pun ada kabut
Kabut dari bulan yang kelam
Kelam dalam kabut memenuhi kota

Tenggelam oleh hujan yang turun dari bulan

Cinta itu Tidak Di Dalam Hati

Jangan lagi sekali cari cinta ke dalam hati
Karena dia tidak di dalam hati
Senyumlah pada gambar wajahku
Karena cinta mu memang ada padaku

Bulan. Kawahnya dalam-dalam

Bulan yang legam, kawahnya dalam-dalam
Sinarnya melegam, tertutup awan hitam
Puisi seorang perindu pada bulan yang legam
Karena bulan pecinta bumi paling dalam

Menarilah. Dengan Menari Kamu Mengerti Musik

Menarilah. Dengan menari kamu mengerti musik.
Bernyanyilah. Dengan bernyanyi kamu mengerti lagu.
Bernyanyilah. Dengan bernyanyi kamu belajar mengeja sastra.
Lalu Menarilah, dengan menari kamu belajar menyatu bahasa irama.

Bernyanyilah. Menarilah.
Biar jiwa dan ragamu merdeka