Jadi Pilu

Diturunkannya setetes demi setetes hujan dari kelopak matanya
Makin lama makin deras menganaksungaikan
lesung yang bersarang di pipinya

Ditutupnya pintu dan jendela agar hujan di luar tidak merasuk melalui celah-celah jendela
menambah basah pipinya
Tapi percuma
Pipinya lampau basah

Kepada pelangi dan bibirnya yang sama-sama meradang
Basi oleh waktu yang kian panjang
dan hujan serta air mata yang datang beriringan
Barangkali tiba masanya
Hujan dan air matanya menyatu
Jadi pilu

24 September 2012

Sepotong ciuman ingin hinggap di bibirmu
dari masa lalu
Ciuman yang bisu
dingin pilu
lebam biru

Dipertemukan

Bahwa cinta berawal dari sepasang mata yang bertemu. Kemudian jadi rindu

Sayang, jangan pernah kamu menyalahkan Tuhan karena memisahkan, sebab kamu Tuhan sudah berbaik hati mempertemukan.

"Yang penting kita sempat saling memiliki, sempat saling memiliki rindu, sempat saling memiliki cemburu", kataku.
Kamu tertawa. Air matamu tumpah.

"Jaga dia baik-baik, Kawan". Suamimu tersenyum. Tatapannya mantap
"Iya"

Gincu Merah Muda

"Hey, I just met you. And this is crazy"

Kotaku diguyur hujan. Aku berdiri mematung menghitung butir demi butir hujan yang turun dari awan yang membuat awan jadi kelihatan seperti menangis, dan kamu berlari di bawahnya.

Percayalah, jika ada yang bisa memecah lamunanku di malam yang sedang hujan itu, maka itu adalah langkah kaki mu. Dari jauh kamu terlihat seperti menari, aku jadi berpikir, barangkali kamu adalah dewi hujan yang tuganya melukis pelangi, tapi malah terjatuh ke bumi karena kakimu terlalu licin, terlalu lembut sehingga tergelincir sewaktu melangkah di atas awan.
Pikiran ku mulai tidak beres, malam-malam begini mana mungkin ada pelangi?

Kemudian kamu ikut berteduh di sampingku. Aku berusaha berlaku sewajar mungkin biar kamu tidak curiga bahwa aku sedang jatuh hati pada pandangan yang pertama. Ngomong-ngomong, tidakkah kamu kedinginan waktu itu? Aku ingat kamu mengenakan rok mini dan baju ketat yang tidak mampu menutupi seluruh tubuhmu yang mungil.

Senyummu? Tidak mungkin aku lupa senyum yang dibuat dari sepasang bibir yang dihias gincu merah muda, yang mengkilat memantulkan cahaya lampu jalan kuning di atas trotoar.

Tahukah kamu bahwa momen itu adalah tujuh menit terlama yang pernah Tuhan hadiahkan untukku, Dewi Hujan?

Aku lihat kamu tersenyum lagi, padaku. Aku yakin padaku sebab di pinggir jalan waktu itu hanya ada kita berdua. Hanya ada kedua mata kita yang sesekali berpandangan, hanya ada bibir kita yang sesekali bertukar senyuman, begitu seterusnya sampai hujan berhenti. Aku beranikan diri mendekati, tapi kamu berdiri menjauh, kuduga malu-malu.

Dewi Hujan, di mana kamu sekarang? Padahal kita belum sempat berbicara, aku ingin bertukar senyuman lebih lama. Aku masih menyimpan secarik kertas bertuliskan nomor handphone yang kamu berikan malam itu. Aku hapal betul isinya, "Telepon ya, Lisa, 085463273847. Melayani Tergantung bayaran :)"

Ada Seseorang yang Diam-diam Mengagumimu

Aku ingat kali pertama kita bertemu. Aku ingat senyuman mu yang merah muda, yang serasi dengan rambut panjangmu yang kadang-kadang nakal berayun ke bibirmu, membuat kamu jadi merapikannya dengan telunjuk dengan sangat lembut. Entahlah, tapi kuduga ayunan telunjukmu juga berpengaruh pada degup jantungku.
Ngomong-ngomong, malam ini kamu cantik sekali.

Seandainya kamu tahu, aku punya banyak sekali puisi yang judulnya kuambil dari namamu. Sayang, justru keberanianku tidak cukup banyak untuk menyampaikannya padamu, padahal menurutku itu adalah puisi paling cantik yang pernah diciptakan seorang anak adam yang sedang jatuh cinta.
Ngomong-ngomong, malam ini kamu cantik sekali.

Seperti ribuan hari sebelumnya, aku senang memperhatikan kamu. Aku yakin Tuhan sengaja meletakkan senyum merah muda itu di wajahmu untuk leluasa aku kagumi. Tuhan juga pasti sengaja meletakkan dua bola mata itu di wajahmu biar kalau kita bertemu, kita boleh saling berpandangan dengan malu-malu, saling mengalihkan pandangan, kemudian saling memandang lagi. Begitu seterusnya selama ribuan hari. Seperti malam ini, yang ngomong-ngomong kamu cantik sekali.

Seperti permintaanmu, malam ini untuk pertama kalinya aku datang ke rumahmu, tidak lupa dengan membawa puisi-puisi yang belum sempat sampai kepadamu. Puisi-puisi yang lahir dari sepotong senyummu. Dari jauh kuperhatikan kamu sudah menunggu kedatanganku. Aku jadi ge'er duluan, ditambah lagi rupanya kamu berdandan. Bibirmu yang senantiasa merah muda malam ini jadi merah tua, merona pula. Pipimu juga, aku melihat merah yang merona hampir di seluruh permukaan wajahmu. Kuduga bercampur dengan malu-malu sebab akupun begitu, aku juga malu-malu sebab ini adalah pertama kali aku datang ke rumahmu, disambut pula hangat oleh seluruh keluargamu. Dari jauh kulihat kamu tersenyum meskipun rupanya itu bukan cuma untukku, melainkan untuk seluruh tamu undangan yang datang ke rumahmu, yang satu persatu menyampaikan selamat menempuh hidup baru.
Ngomong-ngomong, malam ini kamu cantik sekali.

#FF2in1 #2 Kau ada Janji yang Harus Kau Tepati

Mulai hari ini aku putuskan untuk membencimu. Katamu kita akan menghadapi ini sama-sama. Pembohong! Buktinya kau malah seenaknya meninggalkan aku sendirian. Mana janjimu? Katamu kita akan menghadirkan rindu sama-sama! Cih! Aku juga yang bodoh, mempercayakan rinduku pada kata-katamu yang manis, yang kamu bikin sebegitu rupa biar aku suka, biar aku percaya.
Kenapa diam, Hah? Mau bicara apa kamu sekarang? Dasar laki-laki pembohong!

Sayangnya waktu itu aku bodoh. Sayangnya waktu itu aku percaya. Aku menyalahkan hatiku yang begitu lemah. Aku menyalahkan hatiku yang begitu kuberikan begitu mudah. Sayangnya penyesalan itu baru datang sekarang, aku ingin membentakmu sekeras-kerasnya. Supaya kau tahu seberapa dalam perasaan yang sudah kamu ciptakan di dalam hatiku yang kini jadi luka yang meradang.
Kenapa diam, Hah? Mau bicara apa kamu sekarang? Dasar laki-laki pembohong!

Sekarang siapa yang akan bilang rindu padaku setiap malam? Bilang sayang padaku setiap ragu. Buatkan puisi setiap ulangtahunku? Siapa yang akan bilang ingin bertemu setiap jauh? Hei! Kenapa diam? Dalam puisimu selalu kau ucapkan janji. Katamu akan menjadi penutup malamku. Akan menjadi langit-langit kamarku yang menjaga tidurku. Katamu kau akan ada di setiap ulang tahun ku. Mana? Kamu baru memberiku selamat ulang tahun empat kali lalu pergi? Dasar laki-laki. Semuanya sama kurasa.
Kenapa diam, Hah? Bicara sekarang! Dasar laki-laki pembohong!

Padahal kau selalu tahu, aku harap kau yang selalu bilang rindu. Kau yang selalu bilang sayang dan menyakinkan aku setiap aku ragu. Aku harap kau yang mengirimiku pesan singkat yang isinya puisi setiap aku berulang tahun. Aku selalu suka puisimu itu. Puisi yang cuma kau buat sekali setahun, cuma untukku. Seharusnya aku tidak merindukanmu terlalu jauh, jadi nanti ketika kamu pergi (seperti sekarang ini), penyesalan tidak akan sedalam ini. Kau menghancurkan harapan yang sudah kau buat sendiri. Cih, dasar laki-laki tidak bisa dipercaya!
Kenapa masih diam, Hah? Bicara sekarang! Dasar laki-laki pembohong!

Kau tidak bisa seenaknya begitu! Kau ada janji yang harus kamu tepati. Aku juga ada janji akan menunggu kamu pulang setiap malam. Ingat? Kenapa diam?
Ayo bicara! Apa perlu aku berteriak lebih keras? Apa perlu aku menumpahkan air mata lebih deras? Apa aku perlu mencabut batu nisanmu baru kau mau bicara?

#FF2in1 Hujan di Pipimu


Malam belum lagi sampai. Matahari masih sembunyi-sembunyi di belakang awan yang dimendungkan hujan yang belum usai. Dia sudah hendak pulang. Meninggalkan sore yang sedikit demi sedikit menjingga. Satu persatu lampu jalan menyala remang bersamaan dengan udara dingin yang perlahan mulai menyelimuti, bersamaan dengan gelap yang perlahan mulai menutupi, bersamaan dengan matahari yang sudah bersembunyi, bersamaan dengan air matamu yang mulai menghujani pipi.

Aku tidak suka melihatmu menangis, satu-satunya tangismu yang paling ingin kukenang adalah tangismu empat tahun yang lalu. Tangis yang turun ketika kita kita bersama-sama mengikat janji di sini. Di bawah lampu temaram yang seperti sengaja ditempatkan di sini untuk menyaksikan sepasang anak adam yang baru saja menanam dua biji cinta yang nanti akan bertambah besar setiap harinya. Dua biji cinta yang ada di dalam hati masing-masing kita.
Aku menggenggammu makin kuat. Hujan di pipimu makin deras.

Sejak empat hari itu, kita sepakat untuk saling merindu. Saling juga cemburu. Aku selalu rindu pada tawamu yang renyah bersamaan dengan matamu yang mengecil untuk setiap lelucon yang kulontarkan, meskipun aku sadar, tidak semuanya lucu. Biasanya, kamu selalu menutup tawa dengan sepotong senyum sambil memandang mataku. Pandanganmu berbinar, aku melihat harapanmu di sana, aku melihat mimpimu di sana, mimpimu tentang kita, mimpimu agar tawa yang kita bagi akan terulang lagi besok dan besoknya lagi.
Aku menggenggammu makin kuat. Hujan di pipimu makin deras.

Barangkali seperti tawamu yang renyah, rindu kita juga punya akhirnya sendiri. Sayangnya kali ini tawamu yang renyah tidak diakhiri dengan senyum, melainkan dengan air mata. Kamu jatuh di pundakku. Seluruh rindu dan harapanmu runtuh di sana. Pada saat itu juga aku mengerti apa yang baru saja melandamu. Kabar bahwa kau akan dilamar lelaki pilihan orangtuamu ternyata benar.
Aku menggenggammu makin kuat. Hujan di pipimu makin deras.

Hujan sedikit demi sedikit mereda. Aku tidak lagi bisa membedakan hujan yang turun dari langit dan dari kedua matamu. Aku tidak lagi bisa membedakan dingin dari sisa-sisa hujan atau dingin dari dalam hati kita berdua.
Genggamanku melemah. Hujan di pipimu mereda.

3 September 2012

Matamu sepasang pelangi
Yang sedih
Menjadi sepasang sungai
Yang menyiram sampai ujung-ujung bibir

- Aku tidak senang melihatmu menangis