Bumi, Sahabat SMP-ku

Sekembalinya dari bulan, kuceritakan pada bumi. Dia tertawa. Kami tertawa seperti dua orang kawan lama yang dulunya satu kelas di bangku Sekolah Menengah Pertama. Waktu itu kami berdua sama-sama masih biru.

Nostalgia yang gila, kami tertawa tak ayal serupa dua orang yang gila pula. Cerita yang kami rasa baru saja terjadi seminggu yang lalu, waktu kami masih sama-sama putih-biru.

Sampai kini, kami berdua yang telah meninggalkan masa putih biru itu masih merasa sangat muda. Kenyataannya, Aku memang masih muda dan dia sudah terlalu tua.

Catatan Seratus Dua Belas

Rencananya, aku ingin menuliskan surat cinta yang kurangkai dengan tulisan indah yang bersambung-sambung, kertas yang berwarna merah muda, dan semprotan parfum beraroma citrus yang segar.
Mula-mula Aku kumpulkan keberanian, sedetik kemudian ku raih bolpoin yang sudah cukup lama tergeletak di sebelah tangan kananku. Kuberanikan menuliskannya dengan segala macam kata dan paragraf bujuk rayu yang kuhapal mati dari sebuah buku kecil berjudul, "125 Rayuan Singkat".

Demi layaknya sebuah surat cinta yang sempurna, surat cinta ku ini kuulang berkali-kali. Dan layaknya orang yang sedang jatuh cinta, aku tidak juga letih, apalagi bermaksud berhenti. Jemariku menari lincah, sesekali jeda, lalu menari lagi. Meninggalkan jejak huruf-huruf yang sambung-menyambung membentuk paragraf yang sastrawi. Entah berapa banyak kata yang kurangkai dengan isi ke sana kemari. Sebagai penutup yang sederhana, jari dan hatiku mantap. Keduanya sepakat menulis satu kalimat penutup sederhana yang mampu mewakili surat yang hendak kusampaikan: Aku cinta padamu.

Setelah selesai dan kurasakan isinya sudah mantap, kuraih sebotol parfum beraroma citrus, aroma yang entah ku tahu dari mana ia sangat menyukainya. Kusemprotkan di sudut kertas berisikan pernyataanku yang paling berani. Kumasukkan perlahan ke dalam amplop putih bersih. Di depannya kutulis, "Catatan seratus dua belas"

Besoknya, dua November. Selepas kuliah ku beranikan diri mendekati dia yang seperti biasa duduk di bangku koridor, kudekati dengan harap-harap cemas dan detak jantung yang cepat dan keras. Tanpa berkata mata kami saling bertemu. Dia  menatapku dalam mencoba menerobos jauh ke dalam pikiranku, menebak-nebak apa yang terjadi selanjutnya. Kuserahkan sepucuk surat cinta beraroma citrus, sambil menatapku dalam ia menyambutnya, dengan senyum yang perlahan terlukis.
Hari ini, dua November. Bahkan sebelum ia membaca surat cinta beraroma citrus, aku sudah tahu jawabannya. Pandangan seperti itu hanya punya satu makna, Kami saling mencintai.