Setelah Habis Hujan

Kami suka pada hujan. Setelah habis hujan. Ketika dedaunan ceria kembali setelah debu yang sekian lama menetap memudar akhirnya terhapus.
Kami suka pada hujan. Setelah habis hujan. Ketika harum aroma tanah basah menghiasi udara.
Kami suka pada hujan. Setelah habis hujan. Ketika awan hitam memudar. Berganti dengan pelangi.

Kami suka pada hujan. Setelah habis hujan. Ketika tetesnya melukis kisah di ataa tanah merah.
Kami suka pada hujan. Setelah habis hujan. Ketika tercipta genangan yang memantulkan cahaya matahari dan gambar langit.
Kami suka pada hujan. Setelah habis hujan. Ketika dingin berangsur hangat.
Kami suka pada hujan. Setelah habis hujan. Ketika rerumputan menengadah.
Kami suka pada hujan. Setelah habis hujan. Ketika rerumputan basah dan lembut.
Kami suka pada hujan. Setelah habis hujan. Ketika serangga-serangga kecil berjingkrak kegirangan.
Kami suka pada hujan. Setelah habis hujan. Ketika kami bisa melangkah di atas semua itu.

Bagian Dua: Elegi Patah Hati

Mungkin suatu kali nanti akan ada cerita tentang kau dan aku yang kita akhiri dengan lebih indah. Suatu cerita di mana Sang Penulis mengisahkan aku sebagai bintang dan kau sebagai cahayanya.

Mungkin suatu kali nanti akan ada beberapa bait puisi tentang kau dan aku yang bisa kita maknai dengan lebih indah. Sebait di mana Sang Penulis mengisahkan aku sebagai huruf vokal dan aku sebagai konsonan biar kita bisa saling melengkapkan sebagai sebait makna, sebagai bunyi.

Mungkin suatu kali akan ada sebuah lagu yang bercerita


tentang kau dan aku. Di mana di dalamnya aku adalah melodi dan kau adalah suara. Biar aku bisa mengiringimu hingga akhir titinada, menyatu dalam iramanya.

Mungkin suatu kali akan ada sebuah lukisan yang berkisah tentang kau dan aku, di mana Sang Seniman melukiskan aku sebagai sungai dan kau sebagai perahu kertas. Biar aku bisa membawamu hingga laut tempat mu bermuara, atau paling tidak lipatan mu melebur dan menyatu bersamaku.


Mungkin suatu saat kau akan menjawab tanyaku tentang rindu padamu. Di kehidupan yang lain saat aku terlahir sebagai musim dan kau sebagai angin. Tak peduli berapa kali aku berganti selama setahun, menjadi hangat, panas, lembab, lalu dingin. Tapi di sana tetap ada kau dan tetap sebagai angin musim.

Atau juga di panorama yang lain saat Tuhan menciptakan aku sebagai langit sore dan kau adalah garis pantai. Saat aku berpamitan dan kau akan menungguku dengan tenang hingga esok hari.

Atau mungkin saat aku terlahir sebagai awan dan kau sebagai hujan. Biar nanti aku bisa mendekapmu hingga tak mampu sampai kau jatuh menghempas tanah yang kemarau, lalu kau akan kembali lagi ke dekapanku.

Mungkin di kehidupan yang lain saat aku terlahir sebagai tanah dan kau terlahir sebagai dedaunan hijau. Biar ketika kau gugur, akan ada aku yang menahanmu dan akan melebur menjadi bagian dariku memberi hidup bagi dedaunan hijau yang lain.

Di kehidupan yang lain di saat aku tidak terlahir sebagai bumi dan kau tidak terlahir sebagai langit. Aku berputar 24 jam sehari dan 365 hari dalam setahun hingga mengelilingi semesta dan pusatnya, tapi tak pernah bisa genggamanku sampai ke tanganmu. Kecuali jika Sang Pemilik waktu memperbolehkan tiang penyanggamu runtuh dan kau jatuh padaku.

Bagian Awal Dari Bintang Paling Terang

Bintang itu masih di sana. Pergi meninggalkan aku yang masih menyimpan sebuah tanya. Aku ikuti jejaknya yang basah oleh airmata yang tak mampu ia bendung. Aku di sana dan ia tidak peduli. Di sana hanya ada kami berdua. Bertiga dengan redupnya. Ia berbalik dan memintaku pergi. Airmatanya membeku menjadi butiran es yang bercahaya lalu hilang.
Kami berbicara dengan bahasa dan cara yang tak dapat kami mengerti. Dari redupnya yang mati dan hidup lagi aku mengerti kesedihan yang musti dirasakan olehnya yang terlalu rapuh. Dari gelapnya yang makin jelas ia tak bisa menceritakan sedihnya. Dari senyuman yang tak tampak. Ia melemah.
Ia melayang mengambang. Pura-pura tegar tapi tak pernah benar-benar bisa. Ia melihatku tapi tak tahu aku di sana. Ia berkedip lalu mati. Aku menggenggamnya dan ia bersinar redup walau sedikit.
Akhirnya kami saling sapa dan saling bercerita, ia ceritakan tentang perihnya. Air matanya menetes sekali lagi dan ku seka dengan telunjukku. Kubiarkan ia terbaring di pangkuan ku, kudekap dan kubiarkan ia merasakan detak jantung ku. Kukisahkan banyak sekali kisah. Tentang sungai, tentang banyak hal. Kuceritakan tentang mimpiku mengarungi pelangi dan semesta. Mimpiku bernyanyi di tepian cincin saturnus. Mimpiku ke tempat yang lebih indah dari surga. Lalu ia bersinar terang sekali memenuhi pandanganku. Baru aku tahu ia bernama Arial yang brarti mimpi.

Setidaknya Aku Masih Punya

Aku punya sepasang bola mata. Sepasang bola mata yang tak bening yang bisa membuat lawan jenis jatuh hati dalam sekali tatapan. Tapi dengan mata ini Aku bisa melihat langit biru di awal pagi, awan cerah di pertengahan siang, senja yang berpamitan menghadap petang, dan gugusan bintang tak beraturan di pengantar malam, juga bisa memandangmu.

Aku punya hidung di antaranya. Tidak mancung. Tapi dengannya aku bisa merasakan segarnya udara pagi dan aroma lautan yang bercerita dengan khasnya, juga bisa merasakan wangimu, Teman.

Di bawahnya lagi ada bibir yang kehitaman dan pecah kering. Dengan bibir yang tak telalu menarik ini aku bisa bercerita, berkisah, tertawa, berbagi kisah hidup dan pengetahuan tentang banyak hal denganmu.

Di kiri kanan kepalaku ada dua daun telinga yang biasa-biasa saja. Dengan telinga yang apa adanya ini bisa mendengar nyanyian alam, ritme musik, termasuk juga suaramu.

Aku punya sepuluh jemari di tanganku. Dengan jemari yang sering terluka ini aku sering menuliskan kisahku untuk mu. Bisa berbagi bertegur sapa walaupun kau jauh.

Aku punya sepasang kaki yang tak jenjang. Setidaknya hingga kini aku masih berdiri dan bisa melompat. Juga bisa menghampiri untuk sekedar bertemu.

Aku punya selembar kulit sawo matang yang menutupi seluruh tubuhku. Dengan kulit yang tak putih menawan ini aku merasakan lembutnya hujan, dingin damainya malam, tenangnya air dan embun pagi, menyentuhmu, juga menggenggam erat tanganmu, Kawan.