Hujan Kenangan

Sudah lelah hujan membasahi kenangan
dan yang sudah lama memutuskan mengakhiri ingatan
Di dalam hujan, puisi-puisi jatuh sebagai baris sejajar yang
terhempas sebab kemarau panjang baru saja meninggalkan
Hujan juga bisa kesepian

Hujan sudah lelah membasahi kenangan tahukah?
Bila di dalam hujan tidak lagi jatuh puisi-puisi yang
Membawa kerinduan dari awan yang ingin disampaikan
Kepada jatuh dedaunan, ringkuh pohon, tanah pecah kering, juga kenangan sepasang kekasih

Di kaca jendela baris-baris hujan itu mengetuk bergantian
Tapi satupun barisnya tidak yang mampu membasahi kenangan-kenangan
yang kering
Telaga di matanya mulai basah

Dan hujan, tidak akan pernah memaksa kenangan tetap dalam ingatan
Sedangkan satu persatu kenangan memaksa
Menyeruak keluar dari ingatan
Meninggalkan tuan rumah
yang tidak pernah suka memandang hujan

Debu-debu Sederhana

Aku ingin puisi untukku sederhana saja
Sesederhana kemunculan debu-debu secara alami di ruang kamar yang jarang dibersihkan

Aku ingin puisi untukku sederhana saja
Sesederhana perempuan muda mengajarkan anaknya di mana harus membuang sampah
atau sesederhana seorang laki-laki yang mendiamkan putranya yang kalah berkelahi

Aku ingin puisi itu sederhana saja
Dirangkai dari diksi-diksi yang bisa diartikan siapa saja, lalu dinikmati dan diceritakan pada teman-temannya, pada kekasihnya, atau pada ayah maupun ibunya
Yang dulu mengajarinya membuang sampah dan mendiamkannya saat ia kalah berkelahi

Aku ingin puisi itu sederhana saja
Ditulis dengan pensil yang sebelumnya diraut dengan silet yang tidak kehilangan ketajamannya. Tidak usah sampai tajam betul
Aku ingin puisi itu sederhana saja. Sesederhana tahajjud dua rakaat yang mengirimkan kerinduan jemaat kepada penciptaNya. Lalu dibalas dengan diberikanNya pagi dengan matahari yang emas warnanya. Lalu pergilah ia dari rumah, mencari penghidupan untuk anak isterinya.
Lalu cepat pulang ke rumah. Agar bisa mencipta sebuah puisi dengan bait yang
Sederhana saja.

Aku Ingin Menulis Sekertas Puisi

Aku ingin menulis sekertas puisi tanpa kata puisi untukmu.
Aku gagal di baris pertama.

Ada yang Lebih

Apa yang lebih hambar ketimbang hujan yang jatuh dari awan yang tidak sampai membasahi tanah? Apa yang lebih asin ketimbang air mata yang merembes pelan-pelan dari pelupuk hingga pinggiran bibir? Apa yang lebih pahit ketimbang patah hati yang disimpan tanpa pernah diceritakan meski lewat timeline twitter? Apa yang lebih indah ketimbang sepasang senyuman yang ditinggal di pelaminan? Apa yang lebih sesak ketimbang sepasang badan yang terpisah setelah terbiasa saling berpelukan?

Apa yang lebih perih ketimbang kecemburuan awan kepada matahari? Ketimbang kecemburuan dan air mata?

Air matamu menguap menjadi awan, lalu turun menjadi hujan. Hilang sebelum sempat jatuh basah ke tanah.

Di Musim Penghujan

Satu-satu jatuh kepiluan
Pecah di jendela
dan di mata

Dan awan
Menghitam
Kita basah di bawahnya

(Repost) Menembak

"Sudahlah, Jangan banyak pikir, Kawan. Nyatakan perasaan mu!", Nasi goreng Ari belum lagi habis dikunyahnya sudah mencoba menceramahi ku, menyebabkan satu dua biji nasinya tumpah ke meja.
Aku diam.
"Kawan, cinta itu itu tidak cuma untuk disimpan di sini, di hati. Tapi juga untuk diucapkan di sini, di mulut. Kemudian dinyatakan di sini, di perbuatan", Serius, kalimatnya barusan mengingatkanku pada ustad yang mengajarkan tentang niat puasa waktu Ramadhan tahun kemarin.
Aku masih diam.
Ari menghabiskan suap terakhir nasi gorengnya lalu meneguk satu dua tegukan teh Poci Nutri Sari, kemudian memperbaiki posisi duduknya, kali ini menghadap tepat ke arahku.
"Mau kau habiskan masa mudamu hanya dengan mengagumi seorang perempuan saja begitu?"
"Sudahlah, jangan ikut campur!" Aku mengelak.
"Aku bukan ikut campur, Kawan. Tapi permasalahan perasaanmu ini sudah jadi beban buatku. Aku kasihan padamu. Ini tahun ketiga kau menyimpan perasaanmu pada orang yang sama. Mau kau tunggu sampai berapa tahun lagi? Sampai dia diambil orang?"
Tiba-tiba sebuah sedotan melayang ke wajah Ari, mengenai tepat hidungnya. Itu Aku yang melemparnya.
"Jangan bicara sembarangan! Kalau dia diambil orang, bisa mati aku!"
"Jadi tunggu apalagi?", Kali ini aku mendengarnya baik-baik.
"Sudah, tembak saja?!", Intonasinya agak keras, ibu kantin yang tadi diam kini memperhatikan kami berdua.
"Tembak?", tanyaku heran. Denyut nadiku mendadak cepat.
"Iya! Begitu cara orang muda melakukannya. Tembak di sini, di hatinya! Yakin padaku, dia akan jadi milikmu!"
"Ah, mana aku berani begitu!", Itu air di gelas yang kupegang sudah habis, tapi masih kucoba hisap dari sedotan.
"Itu masalahmu! Kau belum lagi mencoba sudah menyerah duluan! Sampai kau sarjana, sampai kau kerja, Kawan. Tidak akan kau ketemu jodohmu kalau begini. Cinta itu, Kawan. Selain butuh kelembutan, juga butuh keberanian!".
Lagi-lagi kucoba meneguk air di gelasku yang sudah kosong.
"Tembak dia besok!"
***
Oh, Kawan. Kuberitahu padamu. Aku lemah dalam hal ini, hal yang apa itu orang muda menyebutnya? Cinta. Jadi jangan tanyakan pengalamanku soal hal yang satu ini. Beda dengan Ari yang pengalamannya sudah seperti garam di laut. Sudah banyak sekali. Aku diam, sejurus aku melihat ke langit-langit kamar. Ada sepasang laron si sana, berkejar-kejar dengan lampu.

Aku raih telepon genggam yang tergeletak di atas meja, menelepon nomor seseorang di sana, mengatur janji.
***
Pagi-pagi sekali aku sudah ada di kampus menunggunya. Seseorang yang aku dan Ari bicarakan kemarin. Seseorang yang ceritanya, akan menjadi milikku hari ini. Aku duduk di koridor sambil melihat ke taman, taman yang nantinya akan menjadi saksi sebuah sejarah yang besar.
Dia datang, menepati janji yang kami buat tadi malam, dan seperti biasa, hari ini dia cantik. Dia berjalan sambil melihat ke kiri lalu kanan, dan ke kiri lagi. Kutebak sedang mencariku. Aku sendiri sudah sembunyi di belakang sebuah tiang besar di lantai dua.
***
Aku duduk mengeluarkan senjata rahasia yang tidak akan bisa ditolaknya. Aku melihatnya sekali lagi, dia terlihat bingung. Di antara mahasiswa-mahasiswa lain yang belum banyak lalu lalang.
Keringatku bercucuran, denyut nadiku sekarang tajam-tajam. Kuyakinkan diriku untuk terakhir kali dengan menarik satu nafas panjang.
Kukeluarkan senapan angin yang kupinjam dari pamanku semalam. Lengkap dengan kekeran di atasnya. Dari kekeran ini kulihat dia semakin cantik dan dekat sekali. Kubidik tepat ke arah jantungnya. Aku telah siap menembak perempuan pertamaku.
*dor*

Gombal Hitung Bintang

"Kok belum tidur?"
"Lagi hitung bintang"
"Kok dihitung?"
"Kayaknya malam ini kurang dua biji"
"Ah masa' sih? Kayaknya sama aja deh. Duanya di mana?"
"Di mata kamu"
***Puff***
***Lalu Jadian***

SMS

"Sudah sampai?"
Sent 9:34 PM. 2 May 2013

"Baru-baru sampai"
Received 9.35 PM. 2 May 2013

"Senangnya tadi bisa dengar tawa mu lagi tadi biarpun sedikit setelah sekian lama"
Saved as draft. 9.37 PM. 2 May 2013

Confession

Sometimes i forgot how sweet your smile is.

(Di) Ruang Tamu

Beberapa hari yang lalu kutemui kita yang sedang berbicara tentang hubungan di ruang tamu rumahmu. Membicarakan kenangan-kenangan dan menertawakan potongan SMS-SMS gagal romantis ku padamu, juga potongan SMS-SMS mu pada ku.
Kita memang tidak terbiasa romantis.

Di ruang tamu itu ada aku, kamu, serta beberapa tahun kenangan yang belum kita selesaikan. Di sana juga pipimu basah beberapa minggu yang lalu, matamu mendung lalu jadi hujan yang menetes dari kelopaknya jatuh ke pipimu, menyebabkan sofa krem ruang tamu jadi basah, tetes demi tetes.
Kenangan itu magis.

Aku percaya kenangan adalah tentang pertukaran antara waktu dan ingatan.
Kita menukar waktu dengan ingatan.
Kita belum habis.

Belakangan ini Aku Suka Makan Pakai Kecap

Belakangan ini aku suka makan pakai kecap.
Makan tempe goreng pakai kecap.
Tahu goreng pakai kecap.
Bakso juga pakai kecap.
Tadi pagi malah cuma nasi sama kecap.

Belakangan ini aku suka makan pakai kecap.
Aku suka warnanya yang hitam.
Aku juga suka rasanya yang manis.
Kecap mengingatkan aku pada pinggiran bibirmu.
Yang selalu senyum padaku,
Meskipun hitam, setiap sehabis kutinju.