"Sudahlah, Jangan
banyak pikir, Kawan. Nyatakan perasaan mu!", Nasi goreng Ari
belum lagi habis dikunyahnya sudah mencoba menceramahi ku, menyebabkan
satu dua biji nasinya tumpah ke meja.
Aku diam.
"Kawan, cinta itu itu tidak cuma untuk disimpan di sini, di hati. Tapi juga untuk diucapkan di sini, di mulut. Kemudian dinyatakan di sini, di perbuatan", Serius, kalimatnya barusan mengingatkanku pada ustad yang mengajarkan tentang niat puasa waktu Ramadhan tahun kemarin.
Aku masih diam.
Ari menghabiskan suap terakhir nasi gorengnya lalu meneguk satu dua tegukan teh Poci Nutri Sari, kemudian memperbaiki posisi duduknya, kali ini menghadap tepat ke arahku.
"Mau kau habiskan masa mudamu hanya dengan mengagumi seorang perempuan saja begitu?"
"Sudahlah, jangan ikut campur!" Aku mengelak.
"Aku bukan ikut campur, Kawan. Tapi permasalahan perasaanmu ini sudah jadi beban buatku. Aku kasihan padamu. Ini tahun ketiga kau menyimpan perasaanmu pada orang yang sama. Mau kau tunggu sampai berapa tahun lagi? Sampai dia diambil orang?"
Tiba-tiba sebuah sedotan melayang ke wajah Ari, mengenai tepat hidungnya. Itu Aku yang melemparnya.
"Jangan bicara sembarangan! Kalau dia diambil orang, bisa mati aku!"
"Jadi tunggu apalagi?", Kali ini aku mendengarnya baik-baik.
"Sudah, tembak saja?!", Intonasinya agak keras, ibu kantin yang tadi diam kini memperhatikan kami berdua.
"Tembak?", tanyaku heran. Denyut nadiku mendadak cepat.
"Iya! Begitu cara orang muda melakukannya. Tembak di sini, di hatinya! Yakin padaku, dia akan jadi milikmu!"
"Ah, mana aku berani begitu!", Itu air di gelas yang kupegang sudah habis, tapi masih kucoba hisap dari sedotan.
"Itu masalahmu! Kau belum lagi mencoba sudah menyerah duluan! Sampai kau sarjana, sampai kau kerja, Kawan. Tidak akan kau ketemu jodohmu kalau begini. Cinta itu, Kawan. Selain butuh kelembutan, juga butuh keberanian!".
Lagi-lagi kucoba meneguk air di gelasku yang sudah kosong.
"Tembak dia besok!"
Aku raih telepon genggam yang tergeletak di atas meja, menelepon nomor seseorang di sana, mengatur janji.
Dia datang, menepati janji yang kami buat tadi malam, dan seperti biasa, hari ini dia cantik. Dia berjalan sambil melihat ke kiri lalu kanan, dan ke kiri lagi. Kutebak sedang mencariku. Aku sendiri sudah sembunyi di belakang sebuah tiang besar di lantai dua.
Keringatku bercucuran, denyut nadiku sekarang tajam-tajam. Kuyakinkan diriku untuk terakhir kali dengan menarik satu nafas panjang.
Kukeluarkan senapan angin yang kupinjam dari pamanku semalam. Lengkap dengan kekeran di atasnya. Dari kekeran ini kulihat dia semakin cantik dan dekat sekali. Kubidik tepat ke arah jantungnya. Aku telah siap menembak perempuan pertamaku.
*dor*
Aku diam.
"Kawan, cinta itu itu tidak cuma untuk disimpan di sini, di hati. Tapi juga untuk diucapkan di sini, di mulut. Kemudian dinyatakan di sini, di perbuatan", Serius, kalimatnya barusan mengingatkanku pada ustad yang mengajarkan tentang niat puasa waktu Ramadhan tahun kemarin.
Aku masih diam.
Ari menghabiskan suap terakhir nasi gorengnya lalu meneguk satu dua tegukan teh Poci Nutri Sari, kemudian memperbaiki posisi duduknya, kali ini menghadap tepat ke arahku.
"Mau kau habiskan masa mudamu hanya dengan mengagumi seorang perempuan saja begitu?"
"Sudahlah, jangan ikut campur!" Aku mengelak.
"Aku bukan ikut campur, Kawan. Tapi permasalahan perasaanmu ini sudah jadi beban buatku. Aku kasihan padamu. Ini tahun ketiga kau menyimpan perasaanmu pada orang yang sama. Mau kau tunggu sampai berapa tahun lagi? Sampai dia diambil orang?"
Tiba-tiba sebuah sedotan melayang ke wajah Ari, mengenai tepat hidungnya. Itu Aku yang melemparnya.
"Jangan bicara sembarangan! Kalau dia diambil orang, bisa mati aku!"
"Jadi tunggu apalagi?", Kali ini aku mendengarnya baik-baik.
"Sudah, tembak saja?!", Intonasinya agak keras, ibu kantin yang tadi diam kini memperhatikan kami berdua.
"Tembak?", tanyaku heran. Denyut nadiku mendadak cepat.
"Iya! Begitu cara orang muda melakukannya. Tembak di sini, di hatinya! Yakin padaku, dia akan jadi milikmu!"
"Ah, mana aku berani begitu!", Itu air di gelas yang kupegang sudah habis, tapi masih kucoba hisap dari sedotan.
"Itu masalahmu! Kau belum lagi mencoba sudah menyerah duluan! Sampai kau sarjana, sampai kau kerja, Kawan. Tidak akan kau ketemu jodohmu kalau begini. Cinta itu, Kawan. Selain butuh kelembutan, juga butuh keberanian!".
Lagi-lagi kucoba meneguk air di gelasku yang sudah kosong.
"Tembak dia besok!"
***
Oh,
Kawan. Kuberitahu padamu. Aku lemah dalam hal ini, hal yang apa itu
orang muda menyebutnya? Cinta. Jadi jangan tanyakan pengalamanku soal
hal yang satu ini. Beda dengan Ari yang pengalamannya sudah seperti
garam di laut. Sudah banyak sekali. Aku diam, sejurus aku melihat ke
langit-langit kamar. Ada sepasang laron si sana, berkejar-kejar dengan
lampu.Aku raih telepon genggam yang tergeletak di atas meja, menelepon nomor seseorang di sana, mengatur janji.
***
Pagi-pagi
sekali aku sudah ada di kampus menunggunya. Seseorang yang aku
dan Ari bicarakan kemarin. Seseorang yang ceritanya, akan menjadi
milikku hari ini. Aku duduk di koridor sambil melihat ke taman, taman
yang nantinya akan menjadi saksi sebuah sejarah yang besar.Dia datang, menepati janji yang kami buat tadi malam, dan seperti biasa, hari ini dia cantik. Dia berjalan sambil melihat ke kiri lalu kanan, dan ke kiri lagi. Kutebak sedang mencariku. Aku sendiri sudah sembunyi di belakang sebuah tiang besar di lantai dua.
***
Aku duduk
mengeluarkan senjata rahasia yang tidak akan bisa ditolaknya. Aku
melihatnya sekali lagi, dia terlihat bingung. Di antara
mahasiswa-mahasiswa lain yang belum banyak lalu lalang.Keringatku bercucuran, denyut nadiku sekarang tajam-tajam. Kuyakinkan diriku untuk terakhir kali dengan menarik satu nafas panjang.
Kukeluarkan senapan angin yang kupinjam dari pamanku semalam. Lengkap dengan kekeran di atasnya. Dari kekeran ini kulihat dia semakin cantik dan dekat sekali. Kubidik tepat ke arah jantungnya. Aku telah siap menembak perempuan pertamaku.
*dor*
Bmana hasilnya kak?
ReplyDeleteah kau lemah kali bro hahaha,
ReplyDeletelucu ya...
ReplyDelete