Cerita Dari Pantai Senja

Di Batas Kota Daeng dengan Kolam Jingga Kemerahan, 27 September 2009 pukul 18.27

Kukirimkan sebuah kisah tentang sendiri tapi tidak benar-benar tenggelam dalam kesendirian.
Tidak kesepian hanya sedang bergelut dengan sepi. Tidak pula sunyi hanya suka berdua dengan hampa yang tak bersuara.
Sesederhana sepi dan sunyi.
Bukan gelap hanya terang yang tak seimbang. Bukan juga petang hanya tentang temaram yang tak mampu.

Ku kisahkan tentang sepi di awal malam yang ingin bersinar. Kukisahkan juga tentang sunyi berdua dengan terang yang tersamarkan.
Ini bukan kosong. Hanya sebuah cerita yang tak terdengar.
Seperti ombak yang jatuh hati pada pasir, buih, dan malam. Aku di sini bersama mereka

Bagian Satu: Elegi Patah Hati

Mataku adalah pelangi.
Sayangnya buatmu pelangi itu tak sempurna. Ia hanya punya empat warna yang bisa ia berikan. Warnanya tak pernah lengkap.

Aku adalah matahari yang menghangatkan pagi.
Hanya selalu saja awan-awan yang lebih cerah menghalangi sinarku sampai padamu.

Hingga suatu kali aku adalah awan.
Dan buatmu awan itu mendung merusak langit yang kau pandangi

Pernah kucoba jadi langit dan kau memandangku.
Meski kemudian aku tersadar yang kau kagumi bukan aku, tapi pantulan gambarmu dari bulan di sampingku.

Meski di kala yang lain aku adalah bulan.
Sayangnya aku hanya bulan sabit tipis yang tertelan gelap malam, kalah oleh terang bintang-bintang

Saat yang lain kucoba menjadi pohon biar bisa meneduhimu.
Sayangnya buatmu pohon itu berangsur gugur. Daunnya jatuh satu persatu.
Dan pohon itu hanya mengotori halamanmu.

Aku adalah malaikat. Namun Kau tertawa karena malaikat itu tak bersayap.

Pernah lenganku adalah selimut yang menghangatkan malammu.
Tapi buatmu selimut itu terlalu tipis.

Pernah bahuku menjadi sandaranmu.
Tapi sandaran itu terlalu rapuh dan retak.

Aku adalah angin sejuk.
Tapi yang sampai padamu hanya angin kering yang kemudian menjelma menjadi sebuah dahaga.

Aku adalah hujan di kemaraumu.
Sayangnya hujan itu habis terkikis jauh sebelum ia sampai ke bumi.

Aku adalah pena yang ingin menulis di lembar harimu.
Tapi pena itu tak pernah sampai. Tintanya hanya setitik lalu pudar mengotori baris-baris indahmu.

Aku adalah titinada.
Dan selalu ada nada yang hilang.
Hingga lagu itu tak pernah punya makna.

Pernah kisahku hiasi sepimu.
Hanya saja kisah itu hanya tentang gelap.
Meski saat itu aku tahu kau ingin kisah tentang terang.
Sayangnya kisah seperti itu aku tak punya. Maaf

Dan belakangan aku menjadi ruang kecil di hatimu.
Lalu ruang itu semakin gelap lalu menghilang.

Hingga lama aku menyerah.
Aku pergi dan kau sama sekali tak tahu dan tak peduli.

Sayang, lama baru kau sadar aku sudah tak di sana.
Dan di saat itulah kau tersenyum.

Kusebut Ini Pertanyaan

Aku berdiri di bawah sebatang pohon besar di halaman kampus.
Dengan sejuta dan satu tanda tanya kecil dan besar di kepalaku.

Aku bertanya kepada sebatang rokok tentang arti kehidupan.
Ia jawab dengan kepulan asap putih di udara.
Ia bilang hidup itu adalah kabur.
Seperti asap ini, Teman. Ia tak pernah benar-benar kekal.

Lalu aku bertanya kepada sebuah tato bergambar di tubuhku tentang arti sebuah nyawa.
Ia jawab dengan goresan.
Ia bilang nyawa itu nyata.
Seperti rasa sakit saat ia dituliskan.
Sakitnya akan hilang, tapi bekasnya tetap di sana.

Aku bertanya pada sebotol arak tentang arti kesempurnaan.
Ia jawab dengan sebuah tegukan yang mengeras di kerongkongan.
Ia bilang kesempurnaan itu semu. Ia tak pernah benar-benar di sana. Muncul sesaat lalu menghilang

Aku bertanya pada sebuah jarum suntik tentang arti sebuah kenikmatan.
Ia jawab dengan aliran darah yang melambat.
Ia bilang kenikmatan itu juga nyata. Indah sampai menaklukkan memar ku.
Seperti imaji yang selalu memenuhi alam bawah sadar.

Mereka banyak bicara tentang semu, tentang kabur, tentang nyata.
Aku berhenti bertanya. Lalu berhenti bernafas. Aku pergi sebelum mendapati jawaban yang benar.

Bagian Tiga: Kutemukan Bintang Paling Terang

Kemarin kuceritakan tentang bintang paling terang yang kutemui beberapa hari lalu. Baik, aku berbohong. Sebenarnya ia bukan bintang paling terang. Ia hanya bintang kecil yang redup. Pecahan dari intan yang terpecah. Dibuang karena abu-abunya sementara yang lain putih bersih dan bercahaya. Jika tidak putih, mereka memancarkan ungu dan merah bergantian. Indah yang membuatnya mati. Sendiri meredup di antara terang dan warna.

Dia jauh, jauh sekali. Dan sebentar lagi warnanya mati. Ia menangis tapi tak punya airmata. Ia berusaha bersinar. Namun sinarnya hanya semakin membuatnya redup dan ditertawakan oleh bintang lain yang paling redup sekalipun. Mereka tertawa dan warna mereka semakin indah seiring gelak tawanya.

Ia pergi semakin jauh. Lari dari semesta yang ia benci. Dari semesta yang menertawainya. Ia tak punya sesiapa sementara yang lain saling memamer warna. Ia hanya berlari dengan sebuah kecewa di hatinya jika ia punya hati. Tapi jelas ia tahu cara memaknai. Ia tahu cara memaknai senyum yang terukir di rona bintang-bintang lain. Bukan karena mereka menyukainya, tapi karena mereka terlahir lebih indah. Menertawakan. Bukan tertawa bersama.

Hingga ia tiba di ruang gelap yang semakin jauh. Tak ada bintang. Ia sendiri. Ia duduk di sana. Ia menangis. Akhirnya ia menangis. Ia menitikkan air mata. Membuatnya semakin redup dan gelap. Ia hanya bisa bercerita pada gelap yang selalu bisa mengerti bahasa putus asa. Bahasa tentang gelap. Cerita tentang mati.

Dan di sana Aku terbawa oleh hujan bintang jatuh jauh ke luar Bima Sakti. Mengagumi segala disekitarku. Hingga kusadari sekelilingku berubah dingin. Menyelimuti tubuhku. Membirukan bibirku. Sayap putihku membeku. Aku terjatuh dan sayapku tak berkepak. Sekelilingku hitam dan gelap.

Hingga aku tersadar dan di sana aku bertemu dengan dia. Di tepi sungai bintang cemerlang yang mengalir segemulai airmatanya. Aku berdiri merapikan sayapku yang tadi membeku. Perlahan ku dekati ia. Langkahku tak terdengar. Aku tak melangkah. Aku melayang. Hingga ia berbalik ke sini lalu menatapku. Dengan cepat ia menghapus airmatanya lalu ingin beranjak pergi. Aku terdiam. Masih memandangnya. Aku tahu ada sesuatu yang buruk terjadi padanya. Ia tak peduli. Ia pergi.

Bagian Dua: Kutemukan Bintang Paling Terang

Sudah empat hari ini tak ketemui bintang paling terang itu. Berkas rindu pun menjelma menjadi keinginan untuk mengunjunginya esok seiring matahari pagi. Kupejamkan mata dangan seberkas senyum terlukis di wajah yang sedikit memucat entah karena apa. Kurasakan angin malam mengalun lembut di telingaku menciptakan harmoni dengan embun. Tersenyum karena esok pagi akan berbeda dari hari ini. Ingin kutemui ia lagi, bintang yang paling terang jelmaan mimpi. Malam menyelimuti, menghanyutkan dengan dinginnya yang selalu penuh oleh makna yang tak pernah kuungkap. Malam dan aku tertidur tanpa mimpi.
Esok paginya aku terbangun dan mendapati air mata jatuh membasahi. Kurasakan sakit tak terperi di pundak sebelah kananku. Sakit, nyeri, serasa tulang-tulangku patah dan berjatuhan. Ini pertama kali kurasakan sakit seperih ini. Mataku terpejam menahan. Aku berusahan menahan lalu melawan tapi semakin kuat aku melawannya, semakin dalam ia menembus hingga menusuk dan menjalar sampai seluruh bagian tubuhku. Aku berteriak tapi tak seorangpun yang mendengar. Sakit. Nyeri. Aku terkulai.
Sesaat aku tersadar kembali dan rasa sakitnya mereda. Kuraba pundakku dan semuanya terasa baik-baik saja. Aku berjalan dan membasahi wajahku. Mencoba tersadar dari mimpi buruk atau apapun yang baru saja menyiksa ragaku. Aku melangkah ke beranda tempat ku biasa melompat lalu terbang membelah cakrawala. Ku hirup satu nafas panjang seperti yang biasa kulakukan. Ku kepalkan tanganku dan melompat setinggi-tingginya, dan kemudian aku tersadar ada sesuatu yang salah. Grafitasi menarikku, mengkikatku erat tak melepasku melayang, Aku terjatuh dan terhempas keras ke tanah. Keningku berdarah.
Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi, baru setelah kuperiksa baik-baik datangnya sakit yang tadi menghancurkan sendiku. Kudapati sayap di pundak kananku melemah. Darah mengalir dari pangkalnya. Ia terluka. Ia patah. Ia mengering, dan warnanya berubah tak lagi putih bersih. Ia berangsur abu-abu, redup.
Aku masih tak tahu apa yang terjadi dengan sayap di pundak kananku. Kucoba mengepakkannya sesekali. Dan setiap kali kukepakkan darahnya semakin banyak dan rasa sakitnya semakin dalam sekana sampai ke paru-paru dan jantungku. Aku tak peduli. Kukepakkan semakin cepat dan kuat. Menciptakan tiupan angin yang memberontak. Sayap di pundak kiriku mengayun ke atas dan ke bawah, membuatku terombang-ambing di tempatku berdiri, sedangkan sayap di pundak kananku tak merespon. Ia bergeming.
Seperti manusia yang tak bernyawa sayapku diam. Aku menyerah bersamanya. Terkulai dan bersandar di pintu yang sering mengucap sampai jumpa setiap kali aku terbang dari hadapannya. Tapi kali ini tidak, ia memelukku erat. Ia tersenyum padaku. Mencoba meyakinkan seakan mengerti sakit yang kuderita. Tapi bukan itu yang kucemaskan. Bukan nyawaku, tapi sayapku. Tanpanya aku tak akan pernah mengelilingi aurora lagi, tak akan kupeluk cahaya mentari pagi, tak akan ku tantang ombak biru di sore hari, tanpanya aku bukan siapa-siapa. Tanpanya aku hanya mahkluk lemah.
Ku pegang sayapku. Mencoba mengepak tapi ia masih diam. Ku tatap langit yang berngsur biru dan hangat. Ku hempas awan yang meghalangi pandanganku. Mencari bintang itu. Dan kutitip salam semoga ia mendengar “Sayapku patah, aku tak bisa bernyanyi untukmu hari ini. Tak bisa mengajakmu berkeliling senja. Aku tak bisa terbang lagi”.
Dan bintang paling terang itu masih menungguku di pinggir sungai bintang cemerlang tempat kami pertama bertemu. Menyiapkan satu syair untuk yang ia tulis sendiri. Berharap aku datang hari ini.

Bagian Satu: Kutemukan Bintang Paling Terang

Kemarin ketika aku melayang melintas garis cakrawala, kusampaikan pamit pada laut biru sambil sesekali bercanda dengan camar-samar yang melayang elegan. Kuucap selamat tinggal pada pelangi yang membelah awan-awan perak saat aku di baris langit kedua. Kulambaikan tangan pada hujan yang membasahi tanah saat aku di langit keempat. Ku tersenyum pada aurora saat aku di langit keenam. Dan di baris langit terakhir aku pandangi semuanya sekali lagi, untuk yang terakhir kali.

Jauh semakin jauh kutinggalkan semuanya jauh ke belakang. Biru langit kugantikan dengan gelap angkasa yang terlepas dari atmosfer. Ku kelilingi cincin emas saturnus. Berenang di selimut kabut cahaya venus. Ku itari bulan, bermain di kawahnya. Melompat tanpa takut terjatuh. Ku ikuti hujan bintang jatuh yang melintas di atasku, membawa ku jauh berlayar di sungai bintang cemerlang. Berlayar hingga batas luar bima sakti. Hanya bintang. Malam yang tak gelap. Serupa kristal yang tak pernah mencair. Intan yang menciptakan merah, kuning, hijau, lalu berubah ungu dan begitu seterusnya. Kabur lalu jelas lagi. Padam tapi tak mati, ia hidup kembali, dan setiap kali ia hidup, cahayanya semakin terang dan warnanya semakin banyak dan sempurna. Ku biarkan tubuhku menyatu bersama warna-warna yang nyata itu. Mataku terpejam terpesona oleh kecantikan yang paling memukau. Lebih dari semua keindahan di dunia yang pernah ku isi dengan ceritaku. Cantik, cantik tapi bukan buatan. Murni.

Hingga ku temukan bintang paling terang lalu menari bersamanya. Ku sentuh ia dan cahayanya semakin terang. Ku bawa ia bernyanyi seraya terduduk di antara rasi bintang yang kau kagumi dari jauh tempatmu berdiri. Kugenggam dan cahayanya memenuhi pandanganku. Cahaya terang tapi tidak menyilaukan ia berkilau. Hingga cahaya menjelma menjadi cahaya matahari yang membangunkanku. Aku terbangun dari mimpi dan ku dapati tangan kananku masih menggenggam bintang semalam. Bintang jelmaan mimpi yang ke gantung erat di sini. Di hatiku.