Bagian Tiga: Elegi Patah Hati

Memang kita masih terlalu jauh, tapi tidak ingin kalau kita semakin jauh. Entah kenapa dinding itu semakin tebal dan tinggi, semakin sulit buat kupanjati. Laut itu semakin luas semakin dalam untuk kuseberangi.
Hujan masih terlalu deras membuat pelangi jengah menanti. Sedangkan cahayaku semakin redup saat warnamu semakin memesona.

Mungkin Kau masih langit dan aku masih bumi. Kita masih belum bisa jadi awan dan hujan. Juga bukan Rumput dan embun. Kita belum bisa menyatu seperti lumut dan bebatuan. Kau masih berjalan mendekati Desember dan Aku masih saja diam di bulan Juli, entah ingin menyusulmu ke Agustus atau justru ku nanti saja di bulan Februari.

Kau masih kemarau dan aku belum beranjak dari musim dingin. Kau masih cerah dan aku masih saja gelap. Entahlah, tapi lukaku bernanah.

Dengar, Musikku semakin semu dan Lirikmu semakin kabur. Musik yang kumainkan tidak bisa mengiringi puisi yang kau nyanyikan.

Mungkin aku hanya terlalu melankolis.

Setelah Habis Hujan

Kami suka pada hujan. Setelah habis hujan. Ketika dedaunan ceria kembali setelah debu yang sekian lama menetap memudar akhirnya terhapus.
Kami suka pada hujan. Setelah habis hujan. Ketika harum aroma tanah basah menghiasi udara.
Kami suka pada hujan. Setelah habis hujan. Ketika awan hitam memudar. Berganti dengan pelangi.

Kami suka pada hujan. Setelah habis hujan. Ketika tetesnya melukis kisah di ataa tanah merah.
Kami suka pada hujan. Setelah habis hujan. Ketika tercipta genangan yang memantulkan cahaya matahari dan gambar langit.
Kami suka pada hujan. Setelah habis hujan. Ketika dingin berangsur hangat.
Kami suka pada hujan. Setelah habis hujan. Ketika rerumputan menengadah.
Kami suka pada hujan. Setelah habis hujan. Ketika rerumputan basah dan lembut.
Kami suka pada hujan. Setelah habis hujan. Ketika serangga-serangga kecil berjingkrak kegirangan.
Kami suka pada hujan. Setelah habis hujan. Ketika kami bisa melangkah di atas semua itu.

Bagian Dua: Elegi Patah Hati

Mungkin suatu kali nanti akan ada cerita tentang kau dan aku yang kita akhiri dengan lebih indah. Suatu cerita di mana Sang Penulis mengisahkan aku sebagai bintang dan kau sebagai cahayanya.

Mungkin suatu kali nanti akan ada beberapa bait puisi tentang kau dan aku yang bisa kita maknai dengan lebih indah. Sebait di mana Sang Penulis mengisahkan aku sebagai huruf vokal dan aku sebagai konsonan biar kita bisa saling melengkapkan sebagai sebait makna, sebagai bunyi.

Mungkin suatu kali akan ada sebuah lagu yang bercerita


tentang kau dan aku. Di mana di dalamnya aku adalah melodi dan kau adalah suara. Biar aku bisa mengiringimu hingga akhir titinada, menyatu dalam iramanya.

Mungkin suatu kali akan ada sebuah lukisan yang berkisah tentang kau dan aku, di mana Sang Seniman melukiskan aku sebagai sungai dan kau sebagai perahu kertas. Biar aku bisa membawamu hingga laut tempat mu bermuara, atau paling tidak lipatan mu melebur dan menyatu bersamaku.


Mungkin suatu saat kau akan menjawab tanyaku tentang rindu padamu. Di kehidupan yang lain saat aku terlahir sebagai musim dan kau sebagai angin. Tak peduli berapa kali aku berganti selama setahun, menjadi hangat, panas, lembab, lalu dingin. Tapi di sana tetap ada kau dan tetap sebagai angin musim.

Atau juga di panorama yang lain saat Tuhan menciptakan aku sebagai langit sore dan kau adalah garis pantai. Saat aku berpamitan dan kau akan menungguku dengan tenang hingga esok hari.

Atau mungkin saat aku terlahir sebagai awan dan kau sebagai hujan. Biar nanti aku bisa mendekapmu hingga tak mampu sampai kau jatuh menghempas tanah yang kemarau, lalu kau akan kembali lagi ke dekapanku.

Mungkin di kehidupan yang lain saat aku terlahir sebagai tanah dan kau terlahir sebagai dedaunan hijau. Biar ketika kau gugur, akan ada aku yang menahanmu dan akan melebur menjadi bagian dariku memberi hidup bagi dedaunan hijau yang lain.

Di kehidupan yang lain di saat aku tidak terlahir sebagai bumi dan kau tidak terlahir sebagai langit. Aku berputar 24 jam sehari dan 365 hari dalam setahun hingga mengelilingi semesta dan pusatnya, tapi tak pernah bisa genggamanku sampai ke tanganmu. Kecuali jika Sang Pemilik waktu memperbolehkan tiang penyanggamu runtuh dan kau jatuh padaku.

Bagian Awal Dari Bintang Paling Terang

Bintang itu masih di sana. Pergi meninggalkan aku yang masih menyimpan sebuah tanya. Aku ikuti jejaknya yang basah oleh airmata yang tak mampu ia bendung. Aku di sana dan ia tidak peduli. Di sana hanya ada kami berdua. Bertiga dengan redupnya. Ia berbalik dan memintaku pergi. Airmatanya membeku menjadi butiran es yang bercahaya lalu hilang.
Kami berbicara dengan bahasa dan cara yang tak dapat kami mengerti. Dari redupnya yang mati dan hidup lagi aku mengerti kesedihan yang musti dirasakan olehnya yang terlalu rapuh. Dari gelapnya yang makin jelas ia tak bisa menceritakan sedihnya. Dari senyuman yang tak tampak. Ia melemah.
Ia melayang mengambang. Pura-pura tegar tapi tak pernah benar-benar bisa. Ia melihatku tapi tak tahu aku di sana. Ia berkedip lalu mati. Aku menggenggamnya dan ia bersinar redup walau sedikit.
Akhirnya kami saling sapa dan saling bercerita, ia ceritakan tentang perihnya. Air matanya menetes sekali lagi dan ku seka dengan telunjukku. Kubiarkan ia terbaring di pangkuan ku, kudekap dan kubiarkan ia merasakan detak jantung ku. Kukisahkan banyak sekali kisah. Tentang sungai, tentang banyak hal. Kuceritakan tentang mimpiku mengarungi pelangi dan semesta. Mimpiku bernyanyi di tepian cincin saturnus. Mimpiku ke tempat yang lebih indah dari surga. Lalu ia bersinar terang sekali memenuhi pandanganku. Baru aku tahu ia bernama Arial yang brarti mimpi.

Setidaknya Aku Masih Punya

Aku punya sepasang bola mata. Sepasang bola mata yang tak bening yang bisa membuat lawan jenis jatuh hati dalam sekali tatapan. Tapi dengan mata ini Aku bisa melihat langit biru di awal pagi, awan cerah di pertengahan siang, senja yang berpamitan menghadap petang, dan gugusan bintang tak beraturan di pengantar malam, juga bisa memandangmu.

Aku punya hidung di antaranya. Tidak mancung. Tapi dengannya aku bisa merasakan segarnya udara pagi dan aroma lautan yang bercerita dengan khasnya, juga bisa merasakan wangimu, Teman.

Di bawahnya lagi ada bibir yang kehitaman dan pecah kering. Dengan bibir yang tak telalu menarik ini aku bisa bercerita, berkisah, tertawa, berbagi kisah hidup dan pengetahuan tentang banyak hal denganmu.

Di kiri kanan kepalaku ada dua daun telinga yang biasa-biasa saja. Dengan telinga yang apa adanya ini bisa mendengar nyanyian alam, ritme musik, termasuk juga suaramu.

Aku punya sepuluh jemari di tanganku. Dengan jemari yang sering terluka ini aku sering menuliskan kisahku untuk mu. Bisa berbagi bertegur sapa walaupun kau jauh.

Aku punya sepasang kaki yang tak jenjang. Setidaknya hingga kini aku masih berdiri dan bisa melompat. Juga bisa menghampiri untuk sekedar bertemu.

Aku punya selembar kulit sawo matang yang menutupi seluruh tubuhku. Dengan kulit yang tak putih menawan ini aku merasakan lembutnya hujan, dingin damainya malam, tenangnya air dan embun pagi, menyentuhmu, juga menggenggam erat tanganmu, Kawan.

Cerita Dari Pantai Senja

Di Batas Kota Daeng dengan Kolam Jingga Kemerahan, 27 September 2009 pukul 18.27

Kukirimkan sebuah kisah tentang sendiri tapi tidak benar-benar tenggelam dalam kesendirian.
Tidak kesepian hanya sedang bergelut dengan sepi. Tidak pula sunyi hanya suka berdua dengan hampa yang tak bersuara.
Sesederhana sepi dan sunyi.
Bukan gelap hanya terang yang tak seimbang. Bukan juga petang hanya tentang temaram yang tak mampu.

Ku kisahkan tentang sepi di awal malam yang ingin bersinar. Kukisahkan juga tentang sunyi berdua dengan terang yang tersamarkan.
Ini bukan kosong. Hanya sebuah cerita yang tak terdengar.
Seperti ombak yang jatuh hati pada pasir, buih, dan malam. Aku di sini bersama mereka

Bagian Satu: Elegi Patah Hati

Mataku adalah pelangi.
Sayangnya buatmu pelangi itu tak sempurna. Ia hanya punya empat warna yang bisa ia berikan. Warnanya tak pernah lengkap.

Aku adalah matahari yang menghangatkan pagi.
Hanya selalu saja awan-awan yang lebih cerah menghalangi sinarku sampai padamu.

Hingga suatu kali aku adalah awan.
Dan buatmu awan itu mendung merusak langit yang kau pandangi

Pernah kucoba jadi langit dan kau memandangku.
Meski kemudian aku tersadar yang kau kagumi bukan aku, tapi pantulan gambarmu dari bulan di sampingku.

Meski di kala yang lain aku adalah bulan.
Sayangnya aku hanya bulan sabit tipis yang tertelan gelap malam, kalah oleh terang bintang-bintang

Saat yang lain kucoba menjadi pohon biar bisa meneduhimu.
Sayangnya buatmu pohon itu berangsur gugur. Daunnya jatuh satu persatu.
Dan pohon itu hanya mengotori halamanmu.

Aku adalah malaikat. Namun Kau tertawa karena malaikat itu tak bersayap.

Pernah lenganku adalah selimut yang menghangatkan malammu.
Tapi buatmu selimut itu terlalu tipis.

Pernah bahuku menjadi sandaranmu.
Tapi sandaran itu terlalu rapuh dan retak.

Aku adalah angin sejuk.
Tapi yang sampai padamu hanya angin kering yang kemudian menjelma menjadi sebuah dahaga.

Aku adalah hujan di kemaraumu.
Sayangnya hujan itu habis terkikis jauh sebelum ia sampai ke bumi.

Aku adalah pena yang ingin menulis di lembar harimu.
Tapi pena itu tak pernah sampai. Tintanya hanya setitik lalu pudar mengotori baris-baris indahmu.

Aku adalah titinada.
Dan selalu ada nada yang hilang.
Hingga lagu itu tak pernah punya makna.

Pernah kisahku hiasi sepimu.
Hanya saja kisah itu hanya tentang gelap.
Meski saat itu aku tahu kau ingin kisah tentang terang.
Sayangnya kisah seperti itu aku tak punya. Maaf

Dan belakangan aku menjadi ruang kecil di hatimu.
Lalu ruang itu semakin gelap lalu menghilang.

Hingga lama aku menyerah.
Aku pergi dan kau sama sekali tak tahu dan tak peduli.

Sayang, lama baru kau sadar aku sudah tak di sana.
Dan di saat itulah kau tersenyum.

Kusebut Ini Pertanyaan

Aku berdiri di bawah sebatang pohon besar di halaman kampus.
Dengan sejuta dan satu tanda tanya kecil dan besar di kepalaku.

Aku bertanya kepada sebatang rokok tentang arti kehidupan.
Ia jawab dengan kepulan asap putih di udara.
Ia bilang hidup itu adalah kabur.
Seperti asap ini, Teman. Ia tak pernah benar-benar kekal.

Lalu aku bertanya kepada sebuah tato bergambar di tubuhku tentang arti sebuah nyawa.
Ia jawab dengan goresan.
Ia bilang nyawa itu nyata.
Seperti rasa sakit saat ia dituliskan.
Sakitnya akan hilang, tapi bekasnya tetap di sana.

Aku bertanya pada sebotol arak tentang arti kesempurnaan.
Ia jawab dengan sebuah tegukan yang mengeras di kerongkongan.
Ia bilang kesempurnaan itu semu. Ia tak pernah benar-benar di sana. Muncul sesaat lalu menghilang

Aku bertanya pada sebuah jarum suntik tentang arti sebuah kenikmatan.
Ia jawab dengan aliran darah yang melambat.
Ia bilang kenikmatan itu juga nyata. Indah sampai menaklukkan memar ku.
Seperti imaji yang selalu memenuhi alam bawah sadar.

Mereka banyak bicara tentang semu, tentang kabur, tentang nyata.
Aku berhenti bertanya. Lalu berhenti bernafas. Aku pergi sebelum mendapati jawaban yang benar.

Bagian Tiga: Kutemukan Bintang Paling Terang

Kemarin kuceritakan tentang bintang paling terang yang kutemui beberapa hari lalu. Baik, aku berbohong. Sebenarnya ia bukan bintang paling terang. Ia hanya bintang kecil yang redup. Pecahan dari intan yang terpecah. Dibuang karena abu-abunya sementara yang lain putih bersih dan bercahaya. Jika tidak putih, mereka memancarkan ungu dan merah bergantian. Indah yang membuatnya mati. Sendiri meredup di antara terang dan warna.

Dia jauh, jauh sekali. Dan sebentar lagi warnanya mati. Ia menangis tapi tak punya airmata. Ia berusaha bersinar. Namun sinarnya hanya semakin membuatnya redup dan ditertawakan oleh bintang lain yang paling redup sekalipun. Mereka tertawa dan warna mereka semakin indah seiring gelak tawanya.

Ia pergi semakin jauh. Lari dari semesta yang ia benci. Dari semesta yang menertawainya. Ia tak punya sesiapa sementara yang lain saling memamer warna. Ia hanya berlari dengan sebuah kecewa di hatinya jika ia punya hati. Tapi jelas ia tahu cara memaknai. Ia tahu cara memaknai senyum yang terukir di rona bintang-bintang lain. Bukan karena mereka menyukainya, tapi karena mereka terlahir lebih indah. Menertawakan. Bukan tertawa bersama.

Hingga ia tiba di ruang gelap yang semakin jauh. Tak ada bintang. Ia sendiri. Ia duduk di sana. Ia menangis. Akhirnya ia menangis. Ia menitikkan air mata. Membuatnya semakin redup dan gelap. Ia hanya bisa bercerita pada gelap yang selalu bisa mengerti bahasa putus asa. Bahasa tentang gelap. Cerita tentang mati.

Dan di sana Aku terbawa oleh hujan bintang jatuh jauh ke luar Bima Sakti. Mengagumi segala disekitarku. Hingga kusadari sekelilingku berubah dingin. Menyelimuti tubuhku. Membirukan bibirku. Sayap putihku membeku. Aku terjatuh dan sayapku tak berkepak. Sekelilingku hitam dan gelap.

Hingga aku tersadar dan di sana aku bertemu dengan dia. Di tepi sungai bintang cemerlang yang mengalir segemulai airmatanya. Aku berdiri merapikan sayapku yang tadi membeku. Perlahan ku dekati ia. Langkahku tak terdengar. Aku tak melangkah. Aku melayang. Hingga ia berbalik ke sini lalu menatapku. Dengan cepat ia menghapus airmatanya lalu ingin beranjak pergi. Aku terdiam. Masih memandangnya. Aku tahu ada sesuatu yang buruk terjadi padanya. Ia tak peduli. Ia pergi.

Bagian Dua: Kutemukan Bintang Paling Terang

Sudah empat hari ini tak ketemui bintang paling terang itu. Berkas rindu pun menjelma menjadi keinginan untuk mengunjunginya esok seiring matahari pagi. Kupejamkan mata dangan seberkas senyum terlukis di wajah yang sedikit memucat entah karena apa. Kurasakan angin malam mengalun lembut di telingaku menciptakan harmoni dengan embun. Tersenyum karena esok pagi akan berbeda dari hari ini. Ingin kutemui ia lagi, bintang yang paling terang jelmaan mimpi. Malam menyelimuti, menghanyutkan dengan dinginnya yang selalu penuh oleh makna yang tak pernah kuungkap. Malam dan aku tertidur tanpa mimpi.
Esok paginya aku terbangun dan mendapati air mata jatuh membasahi. Kurasakan sakit tak terperi di pundak sebelah kananku. Sakit, nyeri, serasa tulang-tulangku patah dan berjatuhan. Ini pertama kali kurasakan sakit seperih ini. Mataku terpejam menahan. Aku berusahan menahan lalu melawan tapi semakin kuat aku melawannya, semakin dalam ia menembus hingga menusuk dan menjalar sampai seluruh bagian tubuhku. Aku berteriak tapi tak seorangpun yang mendengar. Sakit. Nyeri. Aku terkulai.
Sesaat aku tersadar kembali dan rasa sakitnya mereda. Kuraba pundakku dan semuanya terasa baik-baik saja. Aku berjalan dan membasahi wajahku. Mencoba tersadar dari mimpi buruk atau apapun yang baru saja menyiksa ragaku. Aku melangkah ke beranda tempat ku biasa melompat lalu terbang membelah cakrawala. Ku hirup satu nafas panjang seperti yang biasa kulakukan. Ku kepalkan tanganku dan melompat setinggi-tingginya, dan kemudian aku tersadar ada sesuatu yang salah. Grafitasi menarikku, mengkikatku erat tak melepasku melayang, Aku terjatuh dan terhempas keras ke tanah. Keningku berdarah.
Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi, baru setelah kuperiksa baik-baik datangnya sakit yang tadi menghancurkan sendiku. Kudapati sayap di pundak kananku melemah. Darah mengalir dari pangkalnya. Ia terluka. Ia patah. Ia mengering, dan warnanya berubah tak lagi putih bersih. Ia berangsur abu-abu, redup.
Aku masih tak tahu apa yang terjadi dengan sayap di pundak kananku. Kucoba mengepakkannya sesekali. Dan setiap kali kukepakkan darahnya semakin banyak dan rasa sakitnya semakin dalam sekana sampai ke paru-paru dan jantungku. Aku tak peduli. Kukepakkan semakin cepat dan kuat. Menciptakan tiupan angin yang memberontak. Sayap di pundak kiriku mengayun ke atas dan ke bawah, membuatku terombang-ambing di tempatku berdiri, sedangkan sayap di pundak kananku tak merespon. Ia bergeming.
Seperti manusia yang tak bernyawa sayapku diam. Aku menyerah bersamanya. Terkulai dan bersandar di pintu yang sering mengucap sampai jumpa setiap kali aku terbang dari hadapannya. Tapi kali ini tidak, ia memelukku erat. Ia tersenyum padaku. Mencoba meyakinkan seakan mengerti sakit yang kuderita. Tapi bukan itu yang kucemaskan. Bukan nyawaku, tapi sayapku. Tanpanya aku tak akan pernah mengelilingi aurora lagi, tak akan kupeluk cahaya mentari pagi, tak akan ku tantang ombak biru di sore hari, tanpanya aku bukan siapa-siapa. Tanpanya aku hanya mahkluk lemah.
Ku pegang sayapku. Mencoba mengepak tapi ia masih diam. Ku tatap langit yang berngsur biru dan hangat. Ku hempas awan yang meghalangi pandanganku. Mencari bintang itu. Dan kutitip salam semoga ia mendengar “Sayapku patah, aku tak bisa bernyanyi untukmu hari ini. Tak bisa mengajakmu berkeliling senja. Aku tak bisa terbang lagi”.
Dan bintang paling terang itu masih menungguku di pinggir sungai bintang cemerlang tempat kami pertama bertemu. Menyiapkan satu syair untuk yang ia tulis sendiri. Berharap aku datang hari ini.

Bagian Satu: Kutemukan Bintang Paling Terang

Kemarin ketika aku melayang melintas garis cakrawala, kusampaikan pamit pada laut biru sambil sesekali bercanda dengan camar-samar yang melayang elegan. Kuucap selamat tinggal pada pelangi yang membelah awan-awan perak saat aku di baris langit kedua. Kulambaikan tangan pada hujan yang membasahi tanah saat aku di langit keempat. Ku tersenyum pada aurora saat aku di langit keenam. Dan di baris langit terakhir aku pandangi semuanya sekali lagi, untuk yang terakhir kali.

Jauh semakin jauh kutinggalkan semuanya jauh ke belakang. Biru langit kugantikan dengan gelap angkasa yang terlepas dari atmosfer. Ku kelilingi cincin emas saturnus. Berenang di selimut kabut cahaya venus. Ku itari bulan, bermain di kawahnya. Melompat tanpa takut terjatuh. Ku ikuti hujan bintang jatuh yang melintas di atasku, membawa ku jauh berlayar di sungai bintang cemerlang. Berlayar hingga batas luar bima sakti. Hanya bintang. Malam yang tak gelap. Serupa kristal yang tak pernah mencair. Intan yang menciptakan merah, kuning, hijau, lalu berubah ungu dan begitu seterusnya. Kabur lalu jelas lagi. Padam tapi tak mati, ia hidup kembali, dan setiap kali ia hidup, cahayanya semakin terang dan warnanya semakin banyak dan sempurna. Ku biarkan tubuhku menyatu bersama warna-warna yang nyata itu. Mataku terpejam terpesona oleh kecantikan yang paling memukau. Lebih dari semua keindahan di dunia yang pernah ku isi dengan ceritaku. Cantik, cantik tapi bukan buatan. Murni.

Hingga ku temukan bintang paling terang lalu menari bersamanya. Ku sentuh ia dan cahayanya semakin terang. Ku bawa ia bernyanyi seraya terduduk di antara rasi bintang yang kau kagumi dari jauh tempatmu berdiri. Kugenggam dan cahayanya memenuhi pandanganku. Cahaya terang tapi tidak menyilaukan ia berkilau. Hingga cahaya menjelma menjadi cahaya matahari yang membangunkanku. Aku terbangun dari mimpi dan ku dapati tangan kananku masih menggenggam bintang semalam. Bintang jelmaan mimpi yang ke gantung erat di sini. Di hatiku.

Aku dan Perasaanku Pada Malam

Aku begitu suka pada malam, karena hanya pada malam aku bisa bercerita pada gelap betapa aku merindukan senyumannya. Karena hanya pada malam aku leluasa menghadirkan suaranya dalam titik-titik mimpiku. Dan Aku begitu suka pada malam, karena hanya pada malam aku bisa berharap gambarku ada di dalam mimpinya.
Namun kadang aku tak begitu suka pada malam.Karena hanya pada malam aku tak dapat menggenggam tangannya. Karena hanya pada malam aku tak dapat duduk di sampingnya. Karena pada malam aku harus melepas genggamannya lalu beranjak pergi darinya. Sesaat ketika aku dapat melihat ia duduk di sampingku, sesaat ketika ia mulai bercerita tentang semua yang membuatku tersenyum bila di dekatnya, sesaat ketika ia tak perlu melepas erat lengannya yang bersandar di bahu ku, pagi akan membangunkanku dan membiaskan semuanya. Terangnya tertawa padaku yang pada malam telah bermimpi terlalu sempurna.

Dengarkan Ceritaku Tentang Mimpi

"Gantungkan cita-cita mu setinggi langit". Seperti itulah dialog orangtua yang sedang mengajari anaknya agar berani bermimpi, berani bercita-cita. Berani mengejar. Namun tak jarang pula saya mendengar "Jangan bermimpi terlalu tinggi! Karena kalau kau gagal dan jatuh, rasanya akan sangat sakit". Bagi sebagian orang, kutipan kedua terdengar lebih masuk akal. Lantas haruskah kita jadikan kutipan itu sebagai pedoman hidup? Apakah memang kita tak boleh bermimpi terlalu tinggi? Apakah ada mimpi kelas ekonomi biar kami yang anak buruh, yang anak pedagang kaki lima, yang anak loper koran, yang anak cacat juga kebagian mimpi untuk dikejar?!
Apakah kami yang anak buruh tak boleh bermimpi menjadi lebih dari buruh seperti ayah-ayah kami ?!
Apakah koran-koran jualan ayah kami nantinya akan menjadi warisan mutlak bagi kami ?!
Bukankah kutipan semacam itu hanya akan membuat kami kehilangan mimpi ?!
"Realistislah" kata mereka. "Kau tak akan menggapai mimpimu! Bangun sebelum kau jatuh!".
Sakit memang. Jadi mulai sekarang, haruskah kami tanggalkan mimpi-mimpi ini ?
Mimpi yang membuat kami bangun pagi-pagi lalu berangkat dengan seragam kami ke tempat yang kami sebut sekolah ?
Kami menolak !
Kami akan terus bermimpi !
Biarkan kami hidup dalam mimpi-mimpi kami !
"Karena tanpa mimpi, orang-orang seperti kita akan mati". Realistis? "Realistislah!!
Gantungkan mimpi mu setinggi langit, setinggi angkasa! Karena ketika kau jatuh, kau akan terduduk di antara bintang-bintang."

Dengarkan Ceritaku Tentang Sahabat

Sahabat katanya bisa menusuk kita dari belakang, sahabat katanya kadang menjelek-jelekkan kita di hadapan orang lain. Sahabat katanya bisa bersikap egois, sahabat katanya bisa menghina kita. Faktanya adalah, kita semua bisa saja bersikap seperti itu dan Kalau memang tidak sepakat, saya ingin kalian menjawab pertanyaan ini:
Siapa di antara kalian yang tak pernah menjelek-jelekkan orang lain ?
Siapa di antara kalian yang tak pernah egois ?
Siapa di antara kalian yang tak pernah menghina ?
Siapa di antara kalian yang tak pernah menyakiti hati orang lain .
jawabannya Universal : TIDAK ADA . Saya pun seperti itu .

Dan kalau kalian tanya kenapa sahabat bisa melakukan hal seperti itu ?
Jawabannya juga universal : Sahabat Adalah manusia. Menyalahkan sahabat mungkin hanya pelarian dan penyangkalan dan ungkapan kekecewaan terhadap mereka, untuk satu alasan: mereka tidak seperti yang kita mau. Egois memang, tapi makna sejati dari persahabatan adalah sama dengan makna dasar CINTA: Melebur ego pribadi menjadi ego bersama. Tidak adil saja menurutku jika karena "hanya" dengan satu kesalahan kecil yang mereka lakukan (apalagi) yang tidak mereka sadari atau tidak mereka sengaja, lantas kita melupakan hal-hal yang pernah kita lakukan bersama. Atau lebih mendalam lagi, hal yang pernah mereka lakukan untuk kita. Pemaknaannya sama: Keburukan selalu tampak lebih menonjol daripada kebaikan. Kebaikan menampakkan keindahan yang cepat kita lupakan. Keburukan meninggalkan luka yang lama tersembuhkan.
Persahabatan adalah cinta, jadi seharusnya diakhiri dengan cinta.
Sometimes we have to use our heart, not our egoism.

Adalah wajar menginginkan sahabat yang selalu bisa mengerti. Namun langka jika ada orang yang belajar mengerti terlebih dahulu.


Maka jika ada orang lain yang mencintai kita selain orang tua, ia adalah sahabat.
Maka jika tak ada malaikat, akan ada sahabat.
Maka jika tak ada pelangi, akan ada sahabat.
Maka jika tak ada bintang, maka akan ada sahabat.
(Anonim)

Sadarilah, Wahai Putri Hawa

Sadarilah, Wahai Putri Hawa. Renungkan betapa berharga dirimu. Karena pada suatu hari akan datang seorang lelaki yang akan membawakan cinta sejati untukmu. Lelaki yang akan membawakan bahagia untukmu. Seseorang yang akan bekerja keras untuk membahagiakanmu, merelakan harta bendanya untuk memenuhi seluruh kebutuhanmu dan mengukir senyum di wajahmu. Tidak hari ini, tapi suatu hari, ia akan hadir dalam hidupmu dengan cara dan waktu yang mungkin tak pernah kau pikirkan.


Sadarilah, Wahai Putri Hawa. Karena suatu hari kau akan menjadi isteri dari lelaki itu. Dan ketika saat itu tiba, setiap bagian kecil darimu, semua yang kau lakukan, semua yang terjadi padamu akan dipertanyakan padanya. Setiap tawa dan setiap airmata dari parasmu. Sadarilah, lelaki itu akan menghadirkan cinta selama empat puluh tahun, akan ada senyum untukmu selama itu.
Sadarilah, Wahai Putri Hawa. Karena suatu hari kau akan menjadi seorang ibu yang disayangi oleh anak-anakmu. Suatu hari akan terlukis surga di telapak kakimu. Suatu hari kau bukan lagi dikenal sebagai kau yang sekarang, karena nanti kau akan dipanggil ibu. Karena suatu hari cinta abadi Tuhan akan menjelma menjadi cinta yang kau berikan pada suami dan putra-putrimu. Dan pada saat itulah kau akan jadi makhluk Tuhan paling mulia.
Sadarilah, Wahai Putri Hawa. Peliharalah kehormatanmu.
Sadarilah, Wahai Putri Hawa. Jagalah keelokan parasmu.
Sadarilah, Wahai Putri Hawa. Tebarkan bahasa cinta dari bibirmu.
Sadarilah, Wahai Putri Hawa. Hormatilah dirimu.
Sadarilah, Wahai Putri Hawa. Betapa berharga tubuh yang dianugerahkan padamu. Maka berikan pada seorang saja.
Sadarilah, Wahai Putri Hawa. Betapa kau sangat berharga.

Aku Bermimpi Aku Mati

Tiga malam yang lalu kudapati tubuhku terbaring tragis. Terkulai diam. Tenggelam tapi bukan dalam gelap malam atau terang siang. Rasanya berbeda. Bukan gelap yang sering melarutkanku dalam kesendirian. Gelap yang lebih dalam dan tak dapat kubahasakan. Sesekali di depan mataku yang masih bisa terbuka hanya tergambar kabut berwarna hijau muda. Persis seperti mimpi ku bertahun-tahun yang lalu, saat masih duduk di bangku SD. Masih kabut hijau dan gelap yang sama. Gelap yang tak kumengerti.

Sesaat kucoba untuk bangun dan teriak. Mataku melihat tapi tak dapat memberi reaksi. Otakku berpikir tapi tak mampu bertindak. Kucoba terbangun tapi tetap terkulai. Sepertinya seluruh bagian dari tubuhku, jantungku telah menyerah. Melawan hati yang masih ingin hidup, masih ingin merasakan hidup. Hatiku sebenarnya telah melemah dan ingin ikut menyerah, tapi ia terlalu takut, takut pada dosa yang masih menyelimuti, malu pada Tuhan yang telah lama ia tinggalkan. Ia memohon untuk tetap hidup, meminta pada jantung agar tak ikut menyerah, tapi ia gagal. Detaknya makin lemah, sesekali kuat dan kencang lalu melemah lagi. Irama tak beraturan. Sakit. Sakit karena musti pergi dengan penyesalan. Kekecewaan.
Lalu Detaknya semakin lemah, kabur, dan akhirnya hilang. Lalu seketika tubuhku berada di bawah permukaan, ingin memanjat dan mendaki naik tapi tak bisa. Aku kemudian menyerah, sudah terlalu takut. Sudah tidak kuat untuk menahan detak di dadaku. Pasrah. Namun di titik terakhir..
Beberapa laki-laki yang tak kukenal melihatku dari permukaan, berbaris rapi, menatapku seakan mereka telah lama mengenalku, tapi tak satupun dari mereka yang kukenal. Aku tak terlalu banyak berharap pada mereka yang di balik kabut hijau yang makin kabur. Siapa yang bisa menghentikan kematian dan membalikkan aku ke dunia atas sana? Pikirku.
Mereka kemudian menatapku dalam, namun yang kuperhatikan hanya satu orang, yang berada di tengah-tengah. Ia yang menatapku paling lama dan dalam. Sesaat kemudian, bibirnya berucap. Suaranya ramah, tapi tegas.
"Kami akan menghidupkanmu"
Aku semakin takut lalu kemudian di tengah keraguan itu, aku terbangun.

Demi Masa

Demi masa, apakah saya telah jatuh hati atau hanya tertarik pada pesonanya?! Apakah saya telah jatuh hati atau hanya kagumkah kata yang pantas membahasakannya?!
Demi masa, apakah saya merindukannya atau hanya ingin melihat senyumannya sekali lagi?! Apakah saya merindukannya atau hanya ingin mendengar suaranya lagi?!
Demi masa, apakah saya mencintainya atau hanya suka pada dirinya?! Apakah saya mencintainya ataukah hanya ingin ada di dekatnya saja?!

Demi masa, apakah saya cemburu untuknya atau hanya tak suka melihatnya bersama orang lain?! Apakah cemburu atau hanya iri yang membelenggu?!
Demi masa, apakah semalam ia tergambar di mimpiku hanya karena kekaguman yang berlebihan?!
Demi masa, apakah kemarin saya menggenggam jemarinya hanya untuk meyakinkan bahwa ia nyata?!
Demi masa, apakah kemarin senyumku padanya hanya senyuman tanpa makna?!
Demi masa, apakah yang ia bahasakan padaku kemarin adalah nyata atau hanya ilusi yang yang berbicara?!
Demi masa, apakah ia hanya untuk menyelesaikan cerita yang baru kutulis separuhnya?!
Demi masa, apakah yang kuberikan padanya adalah dari sesuatu yang bermakna atau hanya ungkapan rasa bersalah?!
Demi masa, apakah menyayanginya bagiku terlalu sempurna?! Apakah Suatu saat hanya akan menjadi luka?! Demi masa, sebelum itu terjadi apakah harus ku berhenti sekarang?!

TerMehek - Mehek

"Nama gue Lhya. Umur gue 20 taon. Gue ikutan termehek-mehek ini buat nyari tunangan gue. Namanya Adityar Ichsanul Mahidin. Udah dua taon gue gak dapat kabar dari dia. Dia di mana gue juga gak tau. Pokoknya gue lost contact ama dia selama dua taon ini. Gue ma dia tuh udah tunangan sejak gue masih kelas satu SMA. Tapi pas udah deket hari pernikahannya, tiba-tiba aja dia ngilang gak tau kemana, dan sama sekali gak ninggalin apapun ke gue. Gue bingung musti ngapain dan musti nyari kemana lagi. Gue harap tim Termehek-mehek Trans TV bisa ngebantuin Gue nemuin dia."

"Jadi loe sama sekali gak pernah kontakan lagi ama dia selama dua taon ini?? Loe gak coba nelpon dia??"
"Gue udah nyoba nelpon dia, tapi nomernya gak aktif gitu. Gue gak tau. Pokoknya gue pengen banget nemuin dia. Apapun caranya, gue pengen tau kenapa dia ninggalin gue gitu aja."
"Okehh. Kita bakalan coba bantu elo buat nemuin tunangan loe itu. Pokoknya kita bakalan bantu sebisanya. Loe tenang ajah. Besok kita mulai pencariannya. Sekarang loe pulang dulu, siap-siap buat besok. Loe punya alamatnya Tyar kan? Besok Kita datengin rumahnya."


Pencarian Hari Pertama
Lokasi: Perumahan Bumi Tamalanrea Permai (Rumah Target)
Waktu: 09.31 am

"Assalamualaikum..."
Tokk.. Tokk.. Tokk...
"Assalamualaikummmm..."
Tokk... Tokkk... Tokk...
..........
"Gak ada orang kali' yahh??" Bicara pada Lhya dan Panda (host cewek)

"Kita coba tanya ke ibu itu ajah. Kali aja dia tau Tyarnya kemana. Ini kan jam kerja, sapa tau ajahh dianya lagi keluar" Usul Panda
"Okeehhh" Tanggap Lhya dan Andri (host cowok) bersamaan

"Ibu, Maaf ganggu bentar gak apa-apa kan??"
"...."
"Kami dari Termehek-mehek Trans TV, lagi nyari Adityar yang punya rumah ini..."
"Tyar nya udah pindah setaon lalu..."
(Deggg... Lhya Shock)
"Ohh... Udah pindah??
Sejak kapan, Bu??
Ibu tau gak pindahnya kemana??"
"Setau saya sih, dia pindah sebulan habis nikahnya"
"Jadi, Tyar udah nikah, Bu??"
"Iyah. Yang saya dengar sehh,, Dia juga udah Punya anak..."

"APAAAAAAAAAAAAH ?
(mata meLotot)
ga mungkin !
ga mungkin !
ga mungkin dia udah punya istri !
gw ga percaya !
heaks.heaks.heaks~
(nangis sejadi-jadi na,,
mpe pukuL2 orang )
dasar bajingan kmuh Tyar !
BAJINGAN !
heaks.heaks~
tega bener Lo !

gw mau ktmu ma Tyar skrang ..
gw mau ktmu dia !"

"LHYA!!! Tenang!!! Tenang!!!
Loe jangan emosi kayak gini...
Lagian Tyar yang dimaksud ama Ibu ini belum tentu juga Tyar yang lagi Loe cari...
Sekarang,, mendingan kita balik dulu, besok kita lanjut lagi..."



"Pencarian hari pertama gak membuahkan hasil. GAk ada tanda-tanda dari TyAr sama sekali. Tapi menurut tetangganya sehh,, Si Tyar ini udah nikah dua taon yang lalo,tepat waktu dia ngilang gak ada kabar. Tapi kita juga blom tau Tyar siapa yang diamksud ama ibu itu. Mungkin aja Tyar yang laen.
TAdi kita datengin rumah Pak RT-nya, dan kita udah dapat alamat barunya Tyar. Namanya sihh Adityar doang, gak tau dia ini target yang lagi kita cari ato justru orang laen..."


Pencarian Hari Kedua
Lokasi: Kediaman Tyar (sesuai alamat yang dikasih ama Pak RT)
Waktu: 12.43 pm

"Ini rumahnya??" (Menunjuk sebuah rumah hijau yang cukup besar, pagar warna keemasan, dan halaman yang cukup luas)
"Kalo sesuai alamat yang dikasihh sihh iyahhh..
Yang ini. Loe mau coba masuk??" Bertanya Pada Lhya.
Lhya mengangguk perlahan

Tinggg Tungggg....
Tinggg Tungggg....
Andri memencet bel...
"Assalamu alaikummm..."

Seorang wanita muda keluar lalu menghampiri
"Walekumsalam...
Mas sama mbak-mbak ini siapa yahh??
Ada yang bisa saya bantu??"

"Gini, Mbak. Kita dari Termehek-mehek Trans TV, Ini Lhya klien kami, kalu bisa kami mau ketemu sama Adityar bisa nggak?"

"ADA KEPERLUAN APA SAMA SUAMI SAYA?!"

"mbak istrinya ?
(sesak napas,,
diam mematung ..)
"heaks.heaks~"
(nangis sambiL jambak2 rambud ..)
"gila loe Tyar,,
tega bener loe .."
(tangan kanan nutup muLud,,
tangan kiri megang dada..)
"skarang Tyar nya mana mbak ?"


"Loh, Mbak!!! Jangan ngamuk kayak gitu dong!!!
Saya memang isterinya. Tapi ada perlu apa yah dengan suami saya??" (dengan nada curiga)
"Gini, Mbak. Jadi, Lhya ini dulu katanya sempat tunangan Tyar, tapi pas udah hampir hari pernikahannya, gak taunya si Tyar ini langsung hilang tanpa kabar. Makanya kita dari Termehek-mehek Trans TV mau bantu klien kami ini buat nyariin si Tyar ini, Mbak. Boleh kami ketemu Tyar sekarang"
APAHH?!! Kamu tunangannya??
*Plakkk!!! (Sebuah tamparan dari isteri Tyar mendarat di pipi na Lhya)
"KURANG AJAR KAMU YAHH!!! TRUS NGAPAIN KAMU KE SINI?? MAU NGERUSAK RUMAH TANGGA ORANG HAHHH?!"

mbak kok kasar banget sih ?
biasa aja dong mbak !
(dengan penuh emosi mendorong istri na Tyar ..)
toLong deh mbak !
sopan dong !
mbak tuh yang udah ngerusak kebahagian saia !
dasar perempuan gak tau diri !
mbak itu udah ngerebud caLon suami saia ..
heaks.heaks~
(dengan emosi yang meLuap-Luap,, megang dan mukuL dada sejadi-jadi na ..)
"skarang Tyar nya mana mbak ?"
(sambiL menguncangkan badan istri na Tyar ..)



Host: "Tadi tuh kejadiannya benar-benar di luar kendali. Klien kami ama isterinya Tyar tuh sama-sama gak bisa nahan emosi, dan kita gak tau musti ngapain. Lagian, kita juga belum tau kalau Tyar yang dimaksud si isterinya ini beneran cowok yang kita cari atau bukan. Sumpah gua bingung banget, yang bisa kita lakuin sekarang tuh nungguin ampe Tyar yang dimaksud ma si isterinya ini menampakkan diri. Kita juga gak tau dia ada dimana."


Host (Cewek): "Gw cma gak bisa nahan emosi gw, bayangin aja. Si Target (Tyar. red) tuh udah tunangan ma Lhya ini, sejak si Lhya masih kelas satu SMA!! Bayangin!! Udah berapa taon coba!?! Giliran udah dekat hari pernikahan, si target ini tiba-tiba ilang, gak ada kabar, sampai sekarang. Kalau gak salah, udah 2 taon dia menghilang gituh. Parahnya lagi,, pas kita udah dapat petunjuk soal keberadaan dia, ternyata pas kita datengin rumahnya, yang nyambut itu adalah isterinya, ama anaknya yang umurnya masih satu taon. Gila nggak tuh?? Gw cuman bisa berharap, kalo Tyar yang dimaksud ma si isteri ini tuh bukan orang yang kita cari. Gw bener-bener berharap kita salah orang!!! Sumpah!! Gw kasian banget ama Lhya"



"Kamu tuh ngaca dong, dasar cewek gak tau diri!! Sadar diri napa?! Cowok yang kamu cari tuh sekarang udah jadi suami orang. Udah punya anak lagi!! Kalaupun dia dulunya tunangan Kamu, saya yakin dia gak bakalan inget lagi ama Kamu!! Jadi mendingan sekarang kamu ama temen-temen kamu ini pergi dari sini, atau saya akan panggil polisi!!!"

(Tiba-tiba, seorang lelaki keluar dari dalam rumah)
"Lho?! Ada apa ini ribut-ribut? Mas sama mbak-mbak ini siapa yah? Kok ada kamera segala?"
"Gini, Mas. Kita dari Termehek-mehek Trans TV. Kita lagi nyari seseorang.
Oh iya, Mas ini yang punya rumah? Suaminya mbak ini??"
Iyah
"Tyar?? Adityar Ichsanul Mahidin??"
Darimana Mas tau nama saya??
"Kalo gitu, apa Mas kenal ama cewek ini??
(menunjuk ke Lhya)
"...."
(Berpikir sejenak. Mencoba mengingat sesuatu)
"IkaL??"

"Tyar...."
(air mata jatuh)
"tega loe yah ?
jahad banget loe ..
ini istri loe ? hhah ?
jawab gue !"
(sambil menarik-narik baju yang dikenakan Tyar)
"mana janji loe ?
katax loe mau nikahin gue ?
katax loe saiang ama gue ?
tega loe yah ama gue ?
gua slama ini nunggu elo terus tau ga ?
napa elo nikah ama orang laen ?
loe ga tau apa gmna sakitx gue ?
apa kurangx gue ?
semua apa yang gue punya,, gue beri ke elo ..
loe liad ga ini ?
(memperlihatkan cincin ditangan)
loe msih ingad ga ma janji kita ?
mana janji loe ?
mana ?"
(terduduk sambiL nangis)

"Kal, dengerin gw dulu!!
(Megang tangan na Lhya)
Gw bisa jelasin semuanya!!
Gw ninggalin loe bukan tanpa alasan!!
Sehari sebelum gw ninggalin loe,
Gw nyariin elo kemana-mana,
Tapi Loe gak ada,
Gw coba telpon ke hape loe,
hape loe gak aktif,
Gw nelpon ke rumah, katanya Loe lagi gak di rumah.
2 taon lalu, Kal!
Loe kira gw sengaja apa ninggalin lo?
Loe kira gw gak sakit gitu?
Loe pikir gw egois?
Loe kira jauh dari Loe tuh gampang buat gw?
Kalo dulu gw bilang gw sayang ama Loe, ntu artinya gw bakalan selalu sayang ama Loe,
Loe liat ini??"
(Nunjukin jari manis tangan kiri,
Cincin yang persis sama ama yang dipake ama Lhya)

"Loe bohong kan ama gue ?
kLu Loe emang saiang ama gue,, Loe ga bakaLan nikah ma orang Laen !
gue slama 2 tahun ini,,
nangis trus,,
cuma nangisin eLo ..
gue sedih banget tao ga ?
sedangkan eLo ?
eLo hidup bahagia sama istri eLo ..
Loe ga tau kan,,
gue hancur banget ..
gue kesepian ..
cuma cincin ini yang temenin gue ..
(memperlihatkan cincin)
gue hidup cuma untuk eLo tau ga !
apa gunax gue hidup kLu ga eLo ?
eLo jahad !
brengsek !"
(menangis,, dan menjatuhkan diri ke tubuh Tyar)

"Gw sngaja g' ngasih tau loe soal pRnkahan gw.
gw gak mau nyakitin loe,
Waktu itu gw udah nyiapin pRnkahan Qta.
Rncananya gw mau ngasih surpRise ke Loe,
Trus Tiba-tiba, Anggi, sahabat gw dr SMA datengin gw,
dia dihamilin ama pacarnya, tp pacarnya gak mau tanggung jawab, lari ke luar negeri.
Gw bingung musti ngapain,
akHrnya gw cariin orang yang mau nikahin Anggi', demi status anaknya.
Tp gak brhasil,
akHrx pRlngkpan pRnkahan yg udh gw siapin,
gw pke bwat nikahin dia.
Maafin gw, KaL"

heaks.heaks
(menatap Tyar,, ga sanggup ngomong apa-apa)
"LOE JAHAD !!"
(Lari meninggaLkan rumah Tyar,, dengan penuh derai air mata ..)

"IKAL!!!"
(Bermaksud lari ngejar Lhya, tapi tangannya langsung diraih oleh Anggi, isterinya)
"IkaL..."


"Lhya, sabar yahh?! Setidaknya dia masih ingat ama loe, dia juga bilang kaLo dia sbnarnya jGa sYang ama Loe, dan gw ykin dia gak bo'ong"
"Ini, tadi malem Tyar ngedatengin pnginapan Qta, dia mau ktmu loe, tp loe udah tidur. Gw mau ngebangunin, tp lngsung diLarang ama dia. Dia cuma nitip ini buat loe"
(Nunjukin amplop putih berpita merah, dan sebuah lolipop rasa melon yang sengaja direkatkan di sudut kanan atas)
"Ini pRmohonan tRakhir dR dia,
dia mau loe baCa surat ini"

Mozaik Terakhir: Surat



IkaL, ato mule skRng gw musti mngil loe Lhya. Krn gw sdar, Loe bkn IkaL gw yg dLu lg, smua udh bRubah 2 taon ini. Dan gw sdar, slama i2 jga gw udh bkin loe mNdrita.
Loe bner, gw emg egois. Gw jahat. Gw gak pantes bwat loe, loe pantas dpetin cwok yg lbh smpurna dR gw, yg lbih baik dr gw, yg slalu bisa nyayangin elo.
Breng sRat ini gw kmbaliin cincin Qta yg sRng gw pke bwat ngenang loe, ngenang Qta. Gw mau loe ksh cincin ini k orng yg bner2 loe syang.
Maafin gw. Skrang Qta musti brubah, gw udh mule bisa syang ama Anggi, ama Arai kecil, anak gw.
Lupain gw, tp sblum Loe bner2 lupa sma gw,
gw mau loe maafin gw dulu


Juli 2020

Di pertengahan Juli 2020
Matahari biru pelan namun makin meninggi menghangatkan pagi. Kabut yang menyelimuti jalan sedikit demi sedikit memudar dari jalan kota ini. Berganti dengan asap buangan knalpot dari para manusia pencari sesuap dua suap nasi untuk anak-isteri mereka. Aku ada di antara para pemburu nafkah itu. Sibuk, berjejal di atas aspal jalan raya. Euforia yang selalu sama. Tak pernah berubah sejak pertama kali aku menginjak kota ini belasan tahun lalu. Sejak hari pertama sekolahku di Sekolah Dasar, hingga sekarang berkarir di sebuah perusahaan sedang berkembang yang kubangun bersama sahabat-sahabatku. Tak banyak yang berubah, hanya gedung dan perumahan yang semakin padat, kios pinggir jalan yang seakan tumbuh ke atas setiap tahunnya. Tak ingin kalah dari pohon-pohon hijau yang berdiri gagah di hadapannya. Buah program Penghijauan Lingkungan Hidup yang dicanangkan pemerintah kota. Selebihnya tetap sama. Setidaknya, bagiku semuanya masih terlihat sama.
Untuk pertama kali sejak aku bekerja di perusahaan, aku membolos tanpa pemberitahuan ke kantor. Aku yakin saat ini teman-teman pasti sedang mencariku. Mafhum saja, aku tak pernah sekalipun tak masuk kerja tanpa pemberitahuan. Lagipula aku memegang peranan yang cukup penting di sana. Kepala Bagian pemasaran merangkap penanggungjawab dari sekian banyak program kerja perusahaan. Bukan tanpa alasan hari ini aku tak masuk kerja, Kawan. Biar saja seorang anak berumur enam tahun berseragam putih merah ini saja yang menjelaskannya padamu.
Namanya Arai. Tak usah kau tahu nama lengkapnya. Tidak penting bagimu. Sedari tadi ia tak bisa duduk tenang, matanya berseri memandang kendaraan yang lalu lalang di hadapannya. Memandang sedikit cerminan kehidupan kota. Hanya jendela kaca inilah yang memisahkan ia dari gedung-gedung dan baliho di pinggir jalan yang membuat jalan kota ini semakin ramai saja.
Di pertengahan Juli 2020, adalah hari istimewa untuk Arai dan aku. Hari pertama sekolahnya. Atau mungkin hanya aku saja menganggapnya istimewa. Aku ingin menemani Arai di langkah pertamanya, di hari pertamanya, dan Aku ingin ada di sampingnya. Bersamanya.
Kupegang tangannya lalu kutuntun melewati pintu gerbang Sekolah Dasar ini. Tak lebih dua meter dari hadapan arsitektur yang selalu kukagumi, aku berhenti. Kuraih tubuh Arai, kutatap dalam bola matanya.
”Rai, di sinilah perjalanan panjang itu dimulai. Mimpimu ada di sana, di dalam sana, menunggumu untuk meraihnya.” bisikku pelan. Kurapikan seragamnya, lalu ia berlari seolah mengejar malaikat yang siap mendekapnya. Aku tersenyum. Lalu pelan mengikuti jajak-jejak kecilnya.
Ia duduk di bangku kedua di sebelah kanan sana. Tak bisa diam. Sifat yang sama sekali ia warisi dariku. Sungguh, melihat Arai kecilku membuatku melihat diriku sendiri. Sesaat terlintas kembali memori saat hari pertama sekolahku dulu. Salah masuk kelas, lebih parah lagi, salah masuk sekolah. Sekolahku yang di sebelah sana. Lantainya pecah, warna kayu mejanya pudar. Sungguh indah di Juli 1996 lalu. Serasa baru dua hari yang lalu skenario itu kujalani. Aku tersenyum.
Anganku lalu buyar mendengar tangisan seorang anak perempuan yang duduk di depan Arai. Jemarinya terjepit oleh meja yang didorong Arai saat hendak memeriksa isi laci meja. Bu Guru yang tadinya memberi sambutan dengan wajah dihias senyuman sigap menghampiri anak perempuan berambut hitam sebahu itu, membawanya pada seorang ibu yang sejak tadi berdiri tidak jauh dariku.
”Dinda, kenapa Sayang?” suaranya lembut seraya meraih jemari putrinya.
”Tangan Dinda kejepit, Ma. Sakit. Gara-gara dia...” menunjuk tepat ke arah Arai. Arai panik, lalu berlari ke arahku. Kuminta ia meminta maaf pada anak perempuan berwajah manis itu. Bu guru tersenyum pada Arai. maknanya : ”Lakukanlah, Nak. Lakukan perintah ayahmu! Minta maaflah!”.
Lalu semua berlanjut sebagaimana mestinya. Bu Guru melanjutkan kewajibannya. Dipaparkannya berbagai hal yang perlu diketahui baik oleh kami selaku orang tua, terlebih bagi anak-anak kami.
....
Pelan kuhampiri ibu tadi,
”Ehmm...
Maafkan anak saya, Bu. Saya yakin anak saya tidak bermaksud membuat anak ibu menangis.” ucapku pelan dan lembut. Ia sedikit terkejut. Heran
”Ohhhh... Itu anak bapak?”
Aku mengangguk. ”Namanya Arai”
”Arai? Kedengarannya tidak asing. Di mana yah saya pernah mendengar nama itu?” seraya menempelkan telunjuk di dahinya
”Ada banyak Arai di kota ini. Anak saya hanya salah satunya.” Ucapku memecah dingin.
“Yah sudahlah, Pak. Tidak usah dipikirkan. Saya juga yakin kok anak bapak tidak sengaja. Namanya juga anak-anak.” Jawabnya seraya tersenyum. Dan senyumnya masih sama seperti dulu. Senyum seorang anak di balik balutan seragam putih biru yang kukenal lebih dari sepuluh tahun lalu. Senyuman yang dulu sering menghiasi mimpi-mimpiku. Senyuman yang dulu selalu hadir membuatku ikut tersenyum. Masih tak berubah, masih seperti dulu. Sungguh tak terbayangkan akan bertemu di tempat seperti ini. Dia adalah Ikal, Ikal ku. Ikal ku yang telah menjadi milik orang lain. Bola mataku basah, aku bergeming. Ia berlalu

Desember untuk Lhya

Pagi di pertengahan bulan Desember. Awan-awan hitam berelegi di atas sana. Menghalangi sinar matahari jingga keemasan yang hendak menghangatkan pagi. Sesaat kemudian titik-titik hujan jatuh satu persatu membasahi bumi. Menghadirkan euforia yang sedikit berbeda hari ini. Semakin lama semakin deras sambil sesekali diselingi angin kencang dan suara riuh guntur dan kilat petir meyilaukan.
Di dalam ruangan kelas ada Lhya yang tak hentinya menatap ke luar jendela. Gadis berambut ikal itu terhanyut dalam alam khayalnya, tak peduli pada apa yang terjadi di sekitarnya. Tak peduli pada teman-temannya yang sedari tadi memandang aneh padanya. Tak peduli pada suara guntur dan hujan deras di atasnya. Tak mampu menyembunyikan murung di wajahnya.
Ani yang sedang duduk di sampingnya menatap heran padanya. Tak biasanya Lhya yang periang, terlihat murung seperti ini. Biasanya setiap pagi dia akan bercerita apa saja pada siapa saja yang ada di sampingnya, tentang film yang tayang di Televisi semalam ataupun peristiwa lucu yang baru saja dialami atau dilihatnya dengan penuh semangat dan antusias. Ani mengibas-ngibaskan tangannya yang kedinginan di depan kedua mata Lhya. Memastikan jiwanya masih di dalam tubuhnya.
“Lhya! Lhya!” panggilnya dengan nada agak keras dan cepat mencoba membangunkan Lhya dari alam khayalnya atau apa pun yang sedang menguasainya.
“Eh!” Lhya tersentak.
“Kamu kenapa?” Tanya Ani ingin tahu. “Sakit?” sambil menempelkan punggung tangannya di dahi Lhya. Mengukur suhu tubuhnya kalau-kalau sahabatnya itu sakit
Lhya hanya menggeleng pelan.
“Tidak enak badan?”
Sekali lagi Lhya menggeleng sambil memejamkan mata.
“Lha? Trus? Nggak biasanya kamu diam kayak gini. Kamu sedang ada masalah?! Kalau tidak, sedang memikirkan seseorang yah?!”
Lhya tersenyum kecil lalu menjawab “Tidak kok. Aku tidak kenapa-kenapa. Tugas Bahasa Indonesia kamu sudah selesai?”
“Sudah. Ini!” sambil dengan bangga memperlihatkan tugas menulis cerpennya yang tersampul rapi dengan sampul berwarna merah. “Kutulis berdasarkan kisah nyata! Kalau Kamu? Sudah selesai?”
“Iya, sudah.” Jawabnya sambil tetap tersenyum.
Ani mengeluarkan bungkusan kecil berisi roti coklat yang dibawanya dari rumah.
“Lhya, Kamu mau?” sambil menyodorkan sepotong bekalnya itu pada Lhya.
“Makasih. Tapi aku baru sarapan.” Tolaknya sopan. Ani menarik kembali tangannya dengan sebuah tanda Tanya besar di kepalanya.
Lima menit kemudian bel tanda masuk berbunyi. Siswa-siswa yang tadi berhamburan di depan kelas satu per satu masuk lalu duduk di bangku masing-masing. Ruang kelas yang tadi sepi berubah penuh. Lalu serentak berubah kalem saat seorang guru berpostur tinggi besar melangkah masuk.
“Selamat pagi” sapa Pak Guru dengan sopan. Suaranya yang halus tak seseram tampangnya yang ditumbuhi kumis tebal. Dia adalah Pak Mus, guru mata pelajaran Bahasa dan satra Indonesia.
“Selamat pagi, Pak!” jawab seluruh siswa di kelas itu dengan serentak dan semangat. Lhya masih diam saja.
“Tugas yang kemarin sudah diselesaikan?”
“Sudah, Pak!”
“Bagus kalau begitu. Ketua Kelas, Tolong kumpulkan tugas teman-teman kamu lalu bawa ke meja Bapak di ruang guru sekarang!”
Rahmat sang ketua kelas teladan pun bergerak lincah mengumpulkan tugas-tugas kami.
“Anak-anak, Tolong dengarkan!” Perintah Pak Mus meminta perhatian.
“Hari ini Bapak tidak bisa mengajar seperti biasa. Ada urusan sekolah yang harus Bapak kerjakan sekarang juga. Tolong jangan ribut dan mengganggu kelas lain!”
“Iya, Pak!” sahut seluruh siswa dengan sangat bersemangat. Pak Mus hanya tersenyum lalu berjalan terburu-buru ke arah ruang Tata Usaha.

Ruang kelas langsung berubah gaduh setelah ditinggal Pak Mus. Semua sibuk dengan obrolan masing-masing. Mereka yang demam internet sibuk bercerita tentang situs jejaring sosial seperti Facebook. Sisanya bercerita tentang model pakaian terbaru, sinetron yang habis ditayangkan semalam, dan sisanya lagi membuka kelas diskusi dadakan dengan topik percintaan. Hampir seluruh siswa di ruangan kelas itu terlibat dengan salah satu di antaranya, hanya Lhya dan Ani yang terlihat diam tidak mengerjakan apa-apa.
“Lhya, gabung di sana yuk?” sambil menunjuk ke arah Ilha dan kawan-kawan yang lain yang sedang sibuk membicarakan gosip panas artis dangdut yang baru saja bercerai.
Lhya menggeleng “Kamu duluan saja. Aku menyusul”
“Kamu yakin tidak kenapa-kenapa? Sedari tadi kamu diam saja tidak seperti biasa. Tidak mau cerita? Siapa tahu aku bisa bantu.”
“Tidak, terima kasih. Aku sedang tidak ingin melakukan apa-apa.”
“Ya sudah, aku ke sana yah! Kalau butuh apa-apa, panggil aku saja!”
` Lhya tak merespon. Diam.

Siang. Panas hari itu tak tampak, terlindung oleh awan-awan yang berangsur cerah. Sebaris pelangi muncul di baliknya. Mengakhiri cerita dari hujan deras yang turun sejak pagi. Wajah-wajah ceria bergantian keluar dari ruang kelas. Jam sekolah hari ini selesai.
“Ani, aku langsung pulang yah?!” Ucap Lhya pada Ani meminta pamit
“Lho? Kok? Bukannya minggu lalu kamu janji mau temani kau ke toko buku hari ini?!” tanggap Ani heran. Lhya tak peduli.
“Sudah yah. Sampai jumpa besok!” ucapnya sambil berlalu.

Ia lalu berjalan pelan sambil merunduk murung. Tampak jelas ia sedang menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang tak ingin ia tampakkan. Sesuatu yang tak ingin ia ceritakan. Sebenarnya sejak kemarin ia terus memikirkan seseorang. Sedari kemarin ia memikirkan kakaknya. Sebenarnya bukan kakak kandungnya. Tapi seseorang yang telah ia anggap seperti kakaknya sendiri
Namanya Andi, teman bermainnya yang ia kenal sejak kecil. Dulu, tiap hari mereka menghabiskan waktu bersama, sebagai anak kecil dengan mainan anak kecil pula. Anak kecil yang menikmati keindahan yang hanya mereka mampu rasakan sendiri. Namun semuanya tak berlangsung lama. Mungkin waktu juga yang mengikis kedekatan mereka. Bukan jarak yang membuat mereka jauh, tapi hati. Hati yang membuat mereka jauh. Hati dan waktu yang membuat ia jadi seperti orang lain di hadapan Lhya. Membuatnya seperti orang asing yang tak pernah dikenalnya. Berubahkah ia? Lupakah ia pada apa yang dulu pernah mereka lakukan bersama? Tak terkenangkah di kepalanya senyuman yang pernah mereka lukis bersama di wajah-wajah polos mereka? Memikirkan itu Lhya semakin murung, matanya berkaca-berkaca. Ia menangis.
Sudah hampir delapan tahun Arya, kakak yang sangat disayanginya itu menjadi orang asing. Dan selama delapan tahun itu juga ia harus menanggung keriduan yang mendalam. Kerinduan yang tak mampu ia mengerti. Kerinduan yang lebih dalam dan dan lebih rumit. Bukan kerinduan seorang perempuan pada laki-laki. Jauh lebih bermakna. Kerinduan itu makin besar belakangan ini. Kerinduan yang terlalu berat untuk ditanggung oleh seorang anak perempuan serapuh ia.
Sore saat matahari menuju terbenam, air mata belum kering dari wajahnya. Ia mengunci diri di kamarnya sambil menghadirkan kembali kenangan yang masih terlukis jelas di kepalanya, di hatinya. Khayalannya pecah, dibangunkan oleh bunyi ketukan ketukan pintu rumahnya. Ia menghambur keluar kamar. Tak ada seorangpun di rumah kecuali ia dan adiknya yang sedang duduk di depan televisi.
“Fadil, siapa di luar? Coba liat sana!” perintah Lhya pada adiknya yang sedang asyik sendiri dengan film kartun kesukaannya.
“Tidak mau! Kau saja sana!” jawabnya menolak yang membuat Lhya dongkol. Ia berjalan menuju pintu. Mendapati seorang laki-laki yang bersandar di tembok sambil menunggu seseorang dari dalam untuk membuka pintu.

“Cari siapa?” Tanya Lhya ramah.
“Ibu ada?”
“Ibu sedang keluar. Ada pesan buat ibu?”
“Oh, tidak. Tidak usah.” Jawabnya dengan nada rendah sambil tersenyum

Dan itulah senyuman yang paling ia rindukan. Senyuman yang tak pernah ia lihat delapan tahun ini. Kenangan itu tergambar kembali, sekali lagi. Dan kali ini benar-benar hidup dan sangat nyata. Serasa ia mengalaminya kembali. Lhya dan laki-laki itu saling menatap tanpa kata. Dan dalam sekejap Lhya menjatuhkan dirinya ke pelukan kakak yang sangat dia rindukan itu. Matahari berpamitan. Awan-awan berangsur gelap. Titik-titik hujan menetes sedikit demi sedikit, lalu berubah deras. Membasahi tubuh mereka. Menutupi air mata yang jatuh dari mata mereka berdua.