Surat Cinta yang Tidak Sampai Pada Tujuannya

Surat cinta itu ditulis dengan kata-kata yang apa adanya. Tidak ada kiasan, tidak ada puisi yang indah ritma dan bahasanya.
Surat cinta itu dibungkus dengan amplop yang biasa, tanpa pita, tanpa aroma parfum, bau kertas dari toko foto kopi masih kuat terasa.
Surat cinta itu tidak berisi apa-apa selain kejujuran yang biasa saja.
Tetapi oh, beberapa surat cinta tidak pernah kuat sampai pada tujuannya. Terabai ia di sana. Tertinggal di bangku kuliah lalu jatuh ke lantai sebagai kertas yang biasa pula.

Terang Bulan Keju Bag 2: Popi

Bagi sebagian orang yang lain, hujan hari itu adalah hujan yang biasa

"Nama kamu siapa?", tanyaku pada perempuan itu.
Dia tidak langsung menjawab. Dipandanginya mataku lalu tersenyum.
"Popi. Namaku Popi", suaranya lembut sekali.

Meskipun tentu, percakapan itu hanya terjadi cuma dalam khayalanku. Pada kenyataannya, kami masih masing-masing sibuk dengan tidak memulai pembicaraan satu sama lain.

Dia masih berdiri di sana. Diam dia. Menengadah ke langit menebak kapan hujan hari itu akan berhenti. Sesekali memainkan tetesan hujan yang jatuh dari atap halte yang tidak terlalu besar itu.

Aku juga masih berdiri di sana. Menengadah ke langit menebak kenapa hujan mempertemukan kami hari itu. Sesekali memainkan tetesan hujan yang jatuh dari atap halte yang tidak terlalu besar itu.

Berharap hujan jangan berhenti dulu.
***

Terang Bulan Keju (Bag 1)

Beberapa hal pagi itu terjadi tanpa perlu kita tanya kenapa. Kenapa angin berhembus dari arah tenggara, kenapa embun jatuh dari pucuk rumput membasahi tanah, dan kenapa pagi itu aku ketemu dia lalu jatuh cinta - begitu saja.

Seandainya tadi pagi sikat gigiku tidak terjatuh ke lantai kamar mandi, aku tidak perlu jalan ke kios dekat rumah untuk untuk membeli sikat gigi yang baru. Menjadikan aku terlambat mandi, menjadikan aku terlambat berangkat ke kampus.

Seandainya tadi pagi aku tidak terlambat ke kampus, aku tidak akan kena macet di jalan. Menjadikan aku memutar mencari jalan alternatif agar lebih cepat sampai.

Seandainya tadi aku tidak usah melewati jalan kecil yang penuh batu-batuan kecil itu, ban motorku tidak usah bocor dan aku tidak usah mencari bengkel tambal ban.

Seandainya tadi aku tidak perlu menunggu ban motorku ditambal, aku tidak akan kena hujan yang datang tanpa diundang. Menjadikan aku memutuskan berteduh di halte kampus.

Seandainya tadi aku tidak perlu berteduh, atau aku tidak perlu menambal ban motorku, atau aku tidak perlu mencari jalan alternatif, atau aku tidak perlu terjebak macet, aku tidak akan bertemu perempuan berambut sebahu yang juga singgah berteduh di situ.

Seandainya tadi pagi sikat gigiku tidak terjatuh ke lantai, hari ini aku tidak perlu jatuh cinta.
*** 
Bersambung. Mudah-mudahan.

Aku, Kau, dan Gerbong Kereta Api

Kamu duduklah denganku, di satu gerbong yang sempit
di dalamnya kita saling bercerita tentang tujuan-tujuan, atau lebih jauh
tentang pemberhentian

Kamu duduklah bersamaku di dekat jendela
di dekatnya kita melihat banyak tempat
pindah dalam sekejap

Kamu duduklah di sampingku
jika mengantuk tersenyumlah lalu sandarkan kepalamu
di pundakku
yang katamu, tempat paling lapang untuk merebahkan kenangan-kenangan

Kamu duduklah denganku
jika lelah diamlah sejenak kita
biar diisi panjang perjalanan bunyi besi dari kaki kereta

Atau duduklah kamu di depanku, atau di belakangku

Yang penting jangan di gerbong yang berbeda
tahu kita, perjalanan panjang dengan satu tujuan
belum tentu ada pertemuan,
apalagi salah satu kita telah turun duluan