Sampaikan Puisiku Pada Ibuku

Kemarin dia bertamu ke rumah ku. Seperti biasa dia mengenakan jubah hitam. Kuduga dia cuma punya satu baju
"Silahkan masuk. Ada apa gerangan?" Sambil mempersilahkan aku bertanya.
"Waktumu sudah tiba" Jawabnya singkat
"Kau yakin?" Aku hendak memastikan
"Malaikat tak pernah salah" Tanggapnya dingin
"Boleh aku minta tambahan waktu?" Aku meminta
"Kurasa tidak" Dia menimpali
"Kalau bertanya boleh tidak?"
"Boleh"
"Kapan kau akan menemui ibuku?" Nada bicaraku meninggi
"Tak usah Kau tahu. 'Toh di sana Kalian akan bertemu kembali" Dia meremeh
"Baiklah. Aku ikut denganmu. Satu permintaan terakhir?" Aku meminta lagi. Kali ini nada bicaraku rendah
"Ini hadiah terakhir. Apa itu?" Kurasa dia penasaran juga
"Tolong sampaikan pada ibuku. Sampaikan sebelum dia tidur, ada puisi di bawah bantalnya."

Selamat hari ibu, semuanya

Sayang, Bisakah?

Bisakah mencintai aku tidak hanya pada saat aku membuatmu senang saja?
Kau tahu itu bikin jengah.

Aku Merangkai Mimpi-mimpi.

Aku punya satu mimpi besar, Teman. Katalis. Aku punya satu mimpi yang aku ingin Tuhan memeluknya dalam dan hangat.
Aku punya mimpi, di dalamnya ada aku dan sebuah novel yang kutulis, diterbitkan oleh penerbit Mizan: Penerbit yang sama yang menerbitkan Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Tetes tangan Kak Andrea Hirata yang mengajariku bermimpi.

Selayang Pandang Layang-layang

Selayang pandang Layang-layang
Rangkanya meregang
Menantang garis horizon, siapa yang bisa terbang lebih tinggi
Siapa yang bisa mengalahkan camar

Serupa bintang siang layang-layang itu terbang
Lalu hilang
Berikutnya ia menuju Tuhan

Ditulis pada Training of Recruitment II Forum Lingkar Pena Ranting Unhas. Satu dari lima puisi terbaik