#FF2in1 Hujan di Pipimu


Malam belum lagi sampai. Matahari masih sembunyi-sembunyi di belakang awan yang dimendungkan hujan yang belum usai. Dia sudah hendak pulang. Meninggalkan sore yang sedikit demi sedikit menjingga. Satu persatu lampu jalan menyala remang bersamaan dengan udara dingin yang perlahan mulai menyelimuti, bersamaan dengan gelap yang perlahan mulai menutupi, bersamaan dengan matahari yang sudah bersembunyi, bersamaan dengan air matamu yang mulai menghujani pipi.

Aku tidak suka melihatmu menangis, satu-satunya tangismu yang paling ingin kukenang adalah tangismu empat tahun yang lalu. Tangis yang turun ketika kita kita bersama-sama mengikat janji di sini. Di bawah lampu temaram yang seperti sengaja ditempatkan di sini untuk menyaksikan sepasang anak adam yang baru saja menanam dua biji cinta yang nanti akan bertambah besar setiap harinya. Dua biji cinta yang ada di dalam hati masing-masing kita.
Aku menggenggammu makin kuat. Hujan di pipimu makin deras.

Sejak empat hari itu, kita sepakat untuk saling merindu. Saling juga cemburu. Aku selalu rindu pada tawamu yang renyah bersamaan dengan matamu yang mengecil untuk setiap lelucon yang kulontarkan, meskipun aku sadar, tidak semuanya lucu. Biasanya, kamu selalu menutup tawa dengan sepotong senyum sambil memandang mataku. Pandanganmu berbinar, aku melihat harapanmu di sana, aku melihat mimpimu di sana, mimpimu tentang kita, mimpimu agar tawa yang kita bagi akan terulang lagi besok dan besoknya lagi.
Aku menggenggammu makin kuat. Hujan di pipimu makin deras.

Barangkali seperti tawamu yang renyah, rindu kita juga punya akhirnya sendiri. Sayangnya kali ini tawamu yang renyah tidak diakhiri dengan senyum, melainkan dengan air mata. Kamu jatuh di pundakku. Seluruh rindu dan harapanmu runtuh di sana. Pada saat itu juga aku mengerti apa yang baru saja melandamu. Kabar bahwa kau akan dilamar lelaki pilihan orangtuamu ternyata benar.
Aku menggenggammu makin kuat. Hujan di pipimu makin deras.

Hujan sedikit demi sedikit mereda. Aku tidak lagi bisa membedakan hujan yang turun dari langit dan dari kedua matamu. Aku tidak lagi bisa membedakan dingin dari sisa-sisa hujan atau dingin dari dalam hati kita berdua.
Genggamanku melemah. Hujan di pipimu mereda.

20 comments:

  1. setelah itu, tanpa genggaman yang kuat pun hujan di pipimu akan kembali deras. deras melebihi hujan yang menjadi saksi pertemuan terakhir kita.

    ReplyDelete
  2. sangat bertolak belakang banget sama yang kedua tadi, kayaknya gue yang salah baca, seharusnya yang ini dulu baru yang ke dua :D

    ini nilai ramansanya lebih kental dan realistis banget, banyak perasaan yang terwakili dari tulisan ini, hampir bikin mata gue basah, bukan karena nangis tapi hujan *ngeles

    tapi ada yang ada dipikiran gue setelah baca keduanya ada kesamaan, entah ada apa empat tahun yang lalu?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, keduanya sama-sama empat tahun begitu. Tidak ada hal khusus kok. Kita tunggu saja lanjutannya, siapa tahu ada hubungannya. Hehe.
      Makasih sudah baca, Bay :)

      Delete
  3. Lebih suka yang ini :')
    Ceritanya lebih realistis :')

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ehehe. Iya, cerita yang ini lebih ringan ketimbang yang satunya :)

      Delete
  4. hujan di pipimu terus mengucur...seraya kalbuku terpenuhi peluh jerit tangisku...
    inilah takdir...takpeduli memaki dunia, dan hujan sore itu menjadi saksi genggaman manis terakhir kita...

    *gue meresapi cerita gan*

    ReplyDelete
  5. Tempatku masih kemarau nih.... kapan hujannya ya...

    www.ajavasisme.com

    ReplyDelete
  6. Waktu ngebacanya entah hawa nya disini jadi dingin kayak cerita di flash fictionnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kayaknya kipas anginnya tiba-tiba menyala sendiri. Hahaha

      Delete
  7. kerennnnn.....
    aku suka nih tulisan yg tipenya begini..
    kata-katanya puitis, tapi bisa di mengerti..

    gak kaya tulisan yg sok nyastra banget, tapi susah di mngerti apa maksudnya..

    semoga menang :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ehehe. Makasih sudah baca, Icha. Iya, soalnya menurut saya, karya sastra bisa dibikin meskipun dengan bahasa yang sederhana.
      Makasih sudah baca dan makasih juga doanya :D

      Delete
  8. Bahasanya dahsyat, hiks-hiks! Tisu mana TISU???

    ReplyDelete
  9. sumpah demi apappun tulisan lu keren , walaupun puitis tapi tetep simple and mudah difahami bgt tentunya .
    *salto deh gue

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha. Salto berjamaah yuk?
      Makasih, Heni. Iya, saya lagi belajar nulis sesuatu yang simpel dan muda dipahami, sekaligus enak dibaca. Makasih ya sudah baca :)

      Delete