Juli 2020

Di pertengahan Juli 2020
Matahari biru pelan namun makin meninggi menghangatkan pagi. Kabut yang menyelimuti jalan sedikit demi sedikit memudar dari jalan kota ini. Berganti dengan asap buangan knalpot dari para manusia pencari sesuap dua suap nasi untuk anak-isteri mereka. Aku ada di antara para pemburu nafkah itu. Sibuk, berjejal di atas aspal jalan raya. Euforia yang selalu sama. Tak pernah berubah sejak pertama kali aku menginjak kota ini belasan tahun lalu. Sejak hari pertama sekolahku di Sekolah Dasar, hingga sekarang berkarir di sebuah perusahaan sedang berkembang yang kubangun bersama sahabat-sahabatku. Tak banyak yang berubah, hanya gedung dan perumahan yang semakin padat, kios pinggir jalan yang seakan tumbuh ke atas setiap tahunnya. Tak ingin kalah dari pohon-pohon hijau yang berdiri gagah di hadapannya. Buah program Penghijauan Lingkungan Hidup yang dicanangkan pemerintah kota. Selebihnya tetap sama. Setidaknya, bagiku semuanya masih terlihat sama.
Untuk pertama kali sejak aku bekerja di perusahaan, aku membolos tanpa pemberitahuan ke kantor. Aku yakin saat ini teman-teman pasti sedang mencariku. Mafhum saja, aku tak pernah sekalipun tak masuk kerja tanpa pemberitahuan. Lagipula aku memegang peranan yang cukup penting di sana. Kepala Bagian pemasaran merangkap penanggungjawab dari sekian banyak program kerja perusahaan. Bukan tanpa alasan hari ini aku tak masuk kerja, Kawan. Biar saja seorang anak berumur enam tahun berseragam putih merah ini saja yang menjelaskannya padamu.
Namanya Arai. Tak usah kau tahu nama lengkapnya. Tidak penting bagimu. Sedari tadi ia tak bisa duduk tenang, matanya berseri memandang kendaraan yang lalu lalang di hadapannya. Memandang sedikit cerminan kehidupan kota. Hanya jendela kaca inilah yang memisahkan ia dari gedung-gedung dan baliho di pinggir jalan yang membuat jalan kota ini semakin ramai saja.
Di pertengahan Juli 2020, adalah hari istimewa untuk Arai dan aku. Hari pertama sekolahnya. Atau mungkin hanya aku saja menganggapnya istimewa. Aku ingin menemani Arai di langkah pertamanya, di hari pertamanya, dan Aku ingin ada di sampingnya. Bersamanya.
Kupegang tangannya lalu kutuntun melewati pintu gerbang Sekolah Dasar ini. Tak lebih dua meter dari hadapan arsitektur yang selalu kukagumi, aku berhenti. Kuraih tubuh Arai, kutatap dalam bola matanya.
”Rai, di sinilah perjalanan panjang itu dimulai. Mimpimu ada di sana, di dalam sana, menunggumu untuk meraihnya.” bisikku pelan. Kurapikan seragamnya, lalu ia berlari seolah mengejar malaikat yang siap mendekapnya. Aku tersenyum. Lalu pelan mengikuti jajak-jejak kecilnya.
Ia duduk di bangku kedua di sebelah kanan sana. Tak bisa diam. Sifat yang sama sekali ia warisi dariku. Sungguh, melihat Arai kecilku membuatku melihat diriku sendiri. Sesaat terlintas kembali memori saat hari pertama sekolahku dulu. Salah masuk kelas, lebih parah lagi, salah masuk sekolah. Sekolahku yang di sebelah sana. Lantainya pecah, warna kayu mejanya pudar. Sungguh indah di Juli 1996 lalu. Serasa baru dua hari yang lalu skenario itu kujalani. Aku tersenyum.
Anganku lalu buyar mendengar tangisan seorang anak perempuan yang duduk di depan Arai. Jemarinya terjepit oleh meja yang didorong Arai saat hendak memeriksa isi laci meja. Bu Guru yang tadinya memberi sambutan dengan wajah dihias senyuman sigap menghampiri anak perempuan berambut hitam sebahu itu, membawanya pada seorang ibu yang sejak tadi berdiri tidak jauh dariku.
”Dinda, kenapa Sayang?” suaranya lembut seraya meraih jemari putrinya.
”Tangan Dinda kejepit, Ma. Sakit. Gara-gara dia...” menunjuk tepat ke arah Arai. Arai panik, lalu berlari ke arahku. Kuminta ia meminta maaf pada anak perempuan berwajah manis itu. Bu guru tersenyum pada Arai. maknanya : ”Lakukanlah, Nak. Lakukan perintah ayahmu! Minta maaflah!”.
Lalu semua berlanjut sebagaimana mestinya. Bu Guru melanjutkan kewajibannya. Dipaparkannya berbagai hal yang perlu diketahui baik oleh kami selaku orang tua, terlebih bagi anak-anak kami.
....
Pelan kuhampiri ibu tadi,
”Ehmm...
Maafkan anak saya, Bu. Saya yakin anak saya tidak bermaksud membuat anak ibu menangis.” ucapku pelan dan lembut. Ia sedikit terkejut. Heran
”Ohhhh... Itu anak bapak?”
Aku mengangguk. ”Namanya Arai”
”Arai? Kedengarannya tidak asing. Di mana yah saya pernah mendengar nama itu?” seraya menempelkan telunjuk di dahinya
”Ada banyak Arai di kota ini. Anak saya hanya salah satunya.” Ucapku memecah dingin.
“Yah sudahlah, Pak. Tidak usah dipikirkan. Saya juga yakin kok anak bapak tidak sengaja. Namanya juga anak-anak.” Jawabnya seraya tersenyum. Dan senyumnya masih sama seperti dulu. Senyum seorang anak di balik balutan seragam putih biru yang kukenal lebih dari sepuluh tahun lalu. Senyuman yang dulu sering menghiasi mimpi-mimpiku. Senyuman yang dulu selalu hadir membuatku ikut tersenyum. Masih tak berubah, masih seperti dulu. Sungguh tak terbayangkan akan bertemu di tempat seperti ini. Dia adalah Ikal, Ikal ku. Ikal ku yang telah menjadi milik orang lain. Bola mataku basah, aku bergeming. Ia berlalu

No comments:

Post a Comment