"Gantungkan cita-cita mu setinggi langit". Seperti itulah dialog orangtua yang sedang mengajari anaknya agar berani bermimpi, berani bercita-cita. Berani mengejar. Namun tak jarang pula saya mendengar "Jangan bermimpi terlalu tinggi! Karena kalau kau gagal dan jatuh, rasanya akan sangat sakit". Bagi sebagian orang, kutipan kedua terdengar lebih masuk akal. Lantas haruskah kita jadikan kutipan itu sebagai pedoman hidup? Apakah memang kita tak boleh bermimpi terlalu tinggi? Apakah ada mimpi kelas ekonomi biar kami yang anak buruh, yang anak pedagang kaki lima, yang anak loper koran, yang anak cacat juga kebagian mimpi untuk dikejar?!
Apakah kami yang anak buruh tak boleh bermimpi menjadi lebih dari buruh seperti ayah-ayah kami ?!
Apakah koran-koran jualan ayah kami nantinya akan menjadi warisan mutlak bagi kami ?!
Bukankah kutipan semacam itu hanya akan membuat kami kehilangan mimpi ?!
"Realistislah" kata mereka. "Kau tak akan menggapai mimpimu! Bangun sebelum kau jatuh!".
Sakit memang. Jadi mulai sekarang, haruskah kami tanggalkan mimpi-mimpi ini ?
Mimpi yang membuat kami bangun pagi-pagi lalu berangkat dengan seragam kami ke tempat yang kami sebut sekolah ?
Kami menolak !
Kami akan terus bermimpi !
Biarkan kami hidup dalam mimpi-mimpi kami !
"Karena tanpa mimpi, orang-orang seperti kita akan mati". Realistis? "Realistislah!!
Gantungkan mimpi mu setinggi langit, setinggi angkasa! Karena ketika kau jatuh, kau akan terduduk di antara bintang-bintang."
No comments:
Post a Comment